Kamis, 03 Januari 2013

MATERI KULIAH AIK 5
KEMUHAMMADIYAHAN 1
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
TAHUN  2012 - 2013

KEMUHAMMADIYAHAN


Pengertian Muhammadiyah

    Secara etimologis nama Muhammadiyah berasal dari kata Muhammad, yaitu Nabi Muhammad saw, dan diberi tambahan ya’ nisbah dan ta’ marbutoh yaitu pengikut Nabi Muhammad saw.  KHA. Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, menegaskan bahwa Muhammadiyah berarti ummat Muhammad, pengikut Nabi Muhammad saw. Dalam anggaran Muhammadiyah disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada Al Quran dan Hadits yang shahih.

Faktor-faktor Penyebab Berdirinya

    Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan oleh KHA. Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 atau 18 Nopember 1912 di Yogyakarta.  Ada beberapa alasan yang sering dikemukakan oleh kalangan Muhammadiyah  yang menyebab kan KHA. Dahlan mendirikan organisasi ini adalah sbb :
1.  Beliau melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh Al Quran dan As Sunnah dalam beramal dan bertauhid sehingga takhayyul, khurafat, bid’ah dan syirik meraja- lela, akhlak masyarakat runtuh. Akibatnya amalan-amalan mereka bercampur baur antara yang benar dan yang salah.
2.     Lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa itu tidak efisien. Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah pada masa itu dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu pendidikan di Indonesia terpecah dalam dua model, yaitu model pendidikan sekuler yang dikembangkan oleh Belanda dan pendidikan pesantren yang hany mengajarkan ilmu- ilmu agama saja. Akibatnya timbul jurang pemisah yang sangat dalam antara golongan yang mendapat pendidikan sekuler dengan golongan yang berpendidikan pesantren. Hal ini juga yang menjadi penyebab pecahnya rasa persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) dikalangan umat Islam sendiri, yang akhirnya melemahkan kekuatan Islam.
3. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Orang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri, dan banyak ulama lupa mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya, sehingga hak-hak orang miskin terabaikan.
4. Kebanyakan umat Islam hidup dalam fanatisme yang sempit, bertaklid buta dan berpikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
5. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah aktif beroperasi sejak awal abad ke 19, dan sekolah-sekolah misi itu mendapat subsidi dari pemerintah Belanda.

Gerakan Muhammadiyah

    Melihat keadaan umat Islam yang demikian itulah, dan didorong oleh pemahaman yang mendalam terhadap surat Ali Imron ayat 104, KHA Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharu dan mengajak umat Islam untuk kembali beribadah, bertauhid dan berakhlak sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Sunnah Rasul.
Pada mulanya Muhammadiyah, sesuai dengan perkembangan yang berkembang pada awal berdirinya melakukan aktivitas-aktivitas sbb :
1. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak Islami. Hal ini dilakukan dengan menggiatkan dan meperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, memperkuat ibadah, dan menggembirakan dakwah amar makruf hani munkar, serta memelihara tempat-tempat ibadah dan wakaf.
2.    Mengadakan reformulasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern.
3. Mengadakan reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan Islam dengan memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang berbeda pola dengan pendidikan pesantren, yakni memberikan pelajaran agama dan umum secara bersama-sama.
4.    Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar dengan jalan membentengi para pemuda, wanita, pelajar, rakyat biasa dengan membangkitkan kesadaran beragama mereka, dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Rasa persatuan dan ukhuwah Islamiyah di kalangan umat Islam digalang kembali.

Maksud dan Tujuan Muhammadiyah

    Rumusan “Maksud dan Tujuan Muhammadiyah” mengalami perubahan dari keadaan kepada keadaan lainnya sesuai dengan perkembangan masa.  Pada awal berdiri nya, rumusan itu berbunyi :  (a)  menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumiputera di dalam Karesidenan Yogyakarta; dan  (b) memajukan agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Setelah Muhammadiyah meluas keluar daerah Yogyakarta, dan setelah berdirinya beberapa cabang di wilayah Indonesia, rumusan Maksud dan Tujuan Muhammadiyah disempurnakan menjadi : (a) memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda; dan  (b)  memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
Setelah keluarnya Undang-undang No. 8 tahun 1985 yang mewajibkan organisasi kemasyarakatan mencantumkan satu azas Pancasila, maka terjadilah perubahan azas Muhammadiyah dari Islam menjadi Pancasila. Akibatnya rumusan Maksud dan Tujuan Muhammadiyah juga berubah. Perubahan itu dihasilkan melalui Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta, menjadi : “Mengakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
    Tujuan Muhammadiyah sebagai yang dikemukakan di atas menjadi titik tolak dalam merumuskan ideal atau landasan cita-cita Muhammadiyah yang disebut dengan  “Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.”  Landasan ideal ini memberikan gambaran tentang pandangan hidup Muhammadiyah, tujuan hidup Muhammadiyah  serta metode untuk mencapai tujuan hidup tersebut.  Matan “Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah yang dirumuskan dalam sidang Tanwir (Institusi tertinggi dalam Muhammadiyah, setingkat di bawah Muktamar) pada tahun 1978 menjelang Muktamar Muhammadiyah ke 37 di Yogyakarta, membuat prinsip-prinsip sebagai berikut :

1.    Muhammadiyah adalah gerakan yang berazaskan Islam, bekerja dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.
2.    Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah SWT yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai pada nabi penutup Muhammad saw sebagai hidayah dan rahmat Allah SWT kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan material dan spritual, duniawi dan ukhrowi.
3.    Muhammadiyah mengamalkan Islam berdasarkan Al Quran dan  Sunnah Rasulullah saw, serta menggunakan akal pikiran sesuai dengan ajaran Islam.
4.    Muhammadiyah bekerja demi terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah (kemasyarakatan) duniawi.
5.    Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang mendapat karunia Allah SWT berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikannya suatu negara adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.

Dienul Islam pada Masa Rasulullah saw.

Ciri khas Islam pada zaman Nabi saw
1.    Nabi menyampaikan ajaran Islam lewat al Quran sebagai wahyu yang diterima dari Allah yang diturunkan secara berangsur-angsur sampai selesainya al Quran diturunkan sepenuhnya.
2.    Nabi memberikan penjelasan, penafsiran, keterangan tehnis pelaksanaan atas ayat-ayat yang sifatnya global, seperti perintah shalat, puasa, zakat, haji, dan semua yang menyangkut hal ikhwal tentang caranya, kapan dikerjakannya, berapa kali dikerjakan, dan apa saja yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam menjalankan perintah-perintah tersebut. Penjelasan-penjelasan nabi tsb disebut hadits atau sunnah
3.    Ummat Islam pada waktu itu menyesuakan diri dalam mengamalkan akidah, syari’ah, akhlak/etika, dan mu’amalah atas dasar wahyu yang sedang diturunkan dan sabda Nabi sebagai penjelasan wahyu tersebut, dengan didasaei sikap “as sam’u wat tho’ah.” Kami mendengar dan kami patuh/taat. Banyak wahyu yang diturunkan justru menjawab masalah-masalah yang ditanyakan pada Nabi. Kasus-kasus yang menyebabkan turunnya wahyu disebut asbabun nuzul.

Sumber Hukum
1.    Wahyu al Quran (yang sedang dalam proses diturunkan) sebagai sumber hukum tertinggi
2.    Sunnah Nabi : penjelasan, penafsiran Nabi terhadap wahyu, keteladanan Nabi, dan hal-hal yang dikerjakan oleh seseorang, Nabi mentolerirnya (mendiamkan) masalah tersebut.
3.    Ijtihad. Kebolehan ijtihad diberikan Nabi kepada seorang sahabat, yang karena segi tehnis tidak dimungkinkan komunikasi secara langsung kepada Nabi  dari negeri yang jauh, seperti Yaman.


Muhammadiyah Adalah Organisasi Dakwah Islamiyah

Kepribadian Muhammadiyah menetapakn bahwa Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan gerakan Islam, maksudnya adalah dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dalam segala aspek kehidupan manusia, baik perseorangan maupun kelompok manusia secara kolektif, untuk terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Kepribadian Muhammadiyah menetapkan bahwa Muhammadiyah berjuang dalam segala bidang, seperti bidang keagamaan, sosial ekonomi, kebudayaan, bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lainnya, yang sifat geraknya aktif, kreatif, dinamis, konstruktif dan fleksibel tanpa mengorbankan prinsip.
Kepribadian Muhammadiyah menuntut bahwa untuk dapat terlaksananya semua ini, Persyarikatan harus dibina sebaik-baiknya dengan landasan pedoman perjuangannya adalah al Quran dan Hadits dengan menggunakan akal pikiran sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Bagi Muhammadiyah berjuang adalah wajib, berdakwah adalah wajib, menyantuni dhu’afa dan anak yatim adalah wajib, memajukan pendidikan dan pengajaran ummat adalah wajib, dan berjuang dengan memajukan gerak Muhammadiyah adalah wajib hukumnya.

Pedoman-Pedoman  Pokok Dakwah
1.    Kebijaksanaan dakwah : (1) diberikan secara positif dan sederhana, (2) bersifat memberikan kemudahan, tidak mempersukar, (3) bersifat menggembirakan, tidak membuat orang jauh dari agama Islam, (4) secara berangsur-angsur,  (5) menonjlkan Islam denga menghindari masalah khilafiyah, (6) tidak melibatkan diri dalam politik, dan (7) mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah.
2.    Objek dakwah :  seluruh penduduk negara Indonesia, merata ke seluruh golongan dan lapisan.
3.    Subyek dakwah :  semua anggota Muhammadiyah adalah Muballigh dan Muballighat. Pimpinan Muhammadiyah adalah Pimpinan Gerakan Dakwah. Petugas-petugas Muhammadiyah (guru, juru rawat, staf TU, dlsb) adalah aparat dakwah. Keluarga dan ummat Muhammadiyah adalah pendukung dakwah.
4.    Materi dakwah : mahasinul Islam dalam segala aspeknya dan perbandingan agama.
5.    Sistem dan metode dakwah : menggunakan sistem Dakwah Jama’ah dan metode integrasi/terpadu.

Mengapa mesti dakwah ?

    Sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar, dasarnya adalah :
QS Ali Imran ayat 104 :
  •               
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.

[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

QS Ali Imran ayat 110 :

  •  ••                       
110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

QS An Nahl ayat 125 :

             •     •         
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Tentang kewajiban dakwah, Nabi Muhammad saw bersabda :

مَنْ رَاَى مِـنْـكُـمْ مُـنْكَرًا فَـلْيُـغَـيِّرْهُ بِـيَدِهِ , فَإِنْ لَـمْ يَـسْتَـطِـعْ فَـبِلِسَانِـهِ , فَإِنْ لَـمْ يَـسْتَـطِـعْ فَإِنْ لَـمْ يَـسْتَـطِـعْ فَـبِقَـلْبِـهِ , وَذَلِكَ اَضْـعَـفُ لْاِيْـمَـانِ . ( مـتـفـق عـلـيه )

“Barangsiapa di antara kamu  yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia berani mencegah (mengubah) nya dengan tangannya (dengan kekuatan atau kekuasaan). Jika ia tidak mampu mengubah/mencegah dengan tangannya (karena tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan), maka ubahlah/cegahlah dengan lidahnya (dengan teguran, nasihat). Jika tidak mampu mengubah/mencegah dengan lisan, maka hendaklah ia ubah dengan hati. Dan (dengan cara ini) merupakan iman yang paling lemah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda lagi,

1.    “Apabila manusia melihat kemunkaran dan mereka tidak mencegah (mengubah)nya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa/adzab secara merata dan umum.”

2.    “Sejelek-jelek kaum ialah mereka yang tidak menyuruh menegakkan keadilan, dan sejelek-jelek kaum ialah mereka yang tidak menyuruh berbuat baik (makruf) dan tidak melarang berbuat jahat (munkar).
Sabda Rasulullah saw yang terakhir :
بَـلِغُـوا عَـِنى وَلَـوْ ا'يَـةِ
“Sampaikanlah (apa yang kamu terima) dariku maskipun satu ayat.”

    Dalil-dalil di atas itulah yang melandasi kewajiban dakwah Islamiyah. Muhammadiyah menyadari benar bahwa banyak bidang garap yang tidak akan bisa diatasi dengan dakwah secara individu, tetapi membutuhkan keterlibatan banyak orang. Disinilah perlunya sebuah organisasi. Firman Allah swt dalam al Quran surat Ash Shaf ayat 4 menyatakan :
•          •   
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang (berjihad) dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
    Kata “jihad” dalam ayat tersebut tidak identik dengan perang. Perang adalah satu makna saja dari arti jihad. Jihad meliputi hal yang luas, termasuk menyampaikan dakwah dan mempertahankan ajaran Islam, kesungguhan berkorban untuk meluhurkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Membela kebenaran dan keluhuran Islam serta membela kepentingannya, itulah inti jihad.
    Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kebersamaan yang teratur dalam bentuk organisasi terpadu diperlukan dalam melancarkan Dakwah Islamiyah.

Sifat, Fungsi, dan Misi Muhammadiyah.
Sifatnya Muhammadiyah adalah keagamaan Islam
Fungsi Muhammadiyah, menjunjung tinggi agama Islam (mempelajari, memahami, mengamalkan, menjaga kemurniannya, serta membela kepentingannya).
Misi Muhammadiyah, adalah dakwah Islam amar makruf nahi  munkar, mendidik, membimbing dan menyntuni umat agar senantiasa pada jalan yang lurus lempang menuju kepada masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah swt.


K E T A R J I H A N

Dalam pengertian bahasa “mencari yang lebih kuat.” Berdasarkan istilah dalam Muhammadiyah ialah bermusyawarah bersama dengan tokoh-tokoh ahli untuk meneliti, membanding, menimbang, memilih segala masalah yang diperselisihkan karena adanya perbedaan pendapat di kalangan orang awam, manakah yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih benar, dan lebih dekat dari sumber utamanya, Quran dan Hadits.

Contoh masalah yang memerlukan pentarjihan.
“Suami yang dalam shalat, dengan tidak sengaja si isteri menyentuh tangannya atau kakinya yang tidak terbungkus. Apakah batal shalatnya, dan wajibkah ia mengambil wudhu lagi buat melanjutkan shalatnya?”

Quran surat Al Maidah  ayat 6 menyatakan :
                                                
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Di dalam kalimat     (laamastumun nisa) yang berarti “menyentuh wanita” ada
yang bertanya apakah yang dimaksud berjabat tangan dan sentuhan-sentuhan dengan yang lain, ataukah yang dimaksudkan mengumpuli wanita secara khusus? Kalau yang dimaksud pertama maka berjabat tangan dengan wanita adalah membatalkan wadhu, maka bagi seseorang yang melakukannya atau yang bersentuh dengan wanita tidak diperbolehkan menjalankan shalat kecuali ia harus berwudhu dulu. Dan bila yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut adalah mengumpuli wanita secara khusus maka menyentuh dengan tangan atau lainnya tidak membatalkan wudhu.

Penjelasan :
Ada sebagian imam/ulama menafsirkan kata lamas dalam ayat tersebut di atas dengan menyentuh dengan tangan dan sebagainya, yang berarti dapat membatalkan wudhu. Karena menurut asal bahasa perkatan لـمـس   (lamas) dalam ayat tersebut artinya ialah persentuhan suatu barang dengan barang lainnya.
Ada sebagian imam/ulama yang menafsirkannya dengan mencampuri secara khusus, sehingga menyentuh dengan tangan tidak membatalkan wudhu. Alasannya :

Pertama,  al Quran banyak menggunakan kata al massu dengan arti memelihara kehormatan, seperti ayat 47  Al Imran :
                           
47. Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia.

Al Quran surat al Baqarah ayat 237 :
         
237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,

Kedua, Hadits-hadits yang menerangkan masih tetapnya wudhu karena menyentuh wanita dengan tangan adalah hadits-hadits shahih :
“Telah berkata ‘Aisyah : saya pernah tidur di hadapan Rasulullah saw sedang kedua kaki saya itu nenghadap beliau, maka apabila sujud beliau memecit kaki saya, lalu saya menarik kaki saya, kemudian apabila beliau berdiri, saya ulurkan kedua kaki saya. Aisyah berkata : bahwa rumah-rumah pada masa itu tidak berlampu. (H.S.R. Bukhari)
Hadits lain yang artinya :
“Telah berkata ‘Aisyah : bahwasanya Rasulullah saw pernah shalat, padahal saya tidur melintang di hadapan sebagimana mayit, sehingga apabila beliau itu hendak bershalat witir, beliau menyentuh saya dengan kakinya.” (H.S.R. Nasai)
“Telah berkata ‘Aisyah : pada satu malam saya kehilangan Rasulullah saw dari tempat tidur, lalu saya meraba beliau di dalam gelap, maka terletaklah dua tangan saya di dua tapak kakinya yang tercacak, sedang ia di dalam bersujud.”(H.S.R.Muslim, Turmudzi dan Baihaqi)

Ketiga, bahwa tidak batalnya wudhu karena bersalaman dengan wanita, atau bersentuhan antara laki-laki dengan wanita ketika mengerjakan thawaf di Ka’bah, adalah suatu kemudahan yang didasarkan atasnya syari’at dan ditutup dengan dia ayat-ayat bersuci ;
                  
6.. Allah tidak hendak menjadikan kesempitan bagi kamu, tetapi Allah menghendaki kesucian bagi dirimu dan Dia akan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Peserta Permusyawaratan Tarjih

    Peserta Musyawarah Tarjih dalam bentuk muktamar ialah Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Anggota Lajnah Tarjih Pusat yang ada di wilayah, utusan dari wilayah, plus undangan tokoh-tokoh ulama di luar Muhammadiyah. Dengan demikian maka jelas bahwa Musyawarah Tarjih bersifat terbuka karena bukan saja dari intern Muhammadiyah tapi juga diikuti oleh ulama-ulama di luar Muhammadiyah. Muhammadiyah beranggapan bahwa pebahasan mengenai “hukum Islam” yang diperlukan oleh orang/umat awam bukan hanya merupakan masalah Muhammadiyah sendiri, tetapi sudah meluas menjadi kepentingan umat Islam seluruhnya, perlu dibicarakan bersama-sama.

Tugas Lajnah Tarjih

    Tugas Lajnah Tarjih adalah berikut ini :
1.    Menyelidiki dan memahami ilmu agama untuk memperoleh kemurniannya;
2.    Menyusun tuntunan Aqidah, Ibadah, dan Mu’amalat duniwiyah;
3.    Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun Majlis Tarjih sendiri memandang perlu;
4.    Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih mashlahat;
5.    Mempertinggi kualitas Ulama, dan
6.    Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkanoleh Pimpinan Persyarikatan.

Tugas Majlis Tarjih mencakup juga melakukan riset, penyelidikan dan penelitian yang mendalam tentang masalah yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat akibat dari  perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi untuk mendapat jawaban secara tepat dari Majlis Tarjih, baik itu menyangkut persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya, seni, dan lain sebagainya.

Tertib Hukum Menurut Tarjih
    Majlis Tarjih/Lajnah Tarjih dalam melakukan penyelidikan/penelitian dan pembahasan mengenai masalah-masalah keagamaan dengan tujuan mendapatkan dalil-dalil yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih benar, dan lebih dekat dari sumber utamanya, Quran dan Hadits, selalu bersendikan pada dua (2) sumber utama, yaitu al Quran dan as Sunnah yang memenuhi syarat untuk diterima dengan menggunakan akal pikiran yang tertib dan teratur, bersendikan ketentuan-ketentuan metode ijtihad. Sedangkan Qiyas atau analogi digunakan hanya untuk masalah- masalah yang bukan ibadah mahdhoh (murni) dan masalahnya sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
    Selain tokoh-tokoh agama, Majlis Tarjih juga didampingi dan didukung oleh para ahli dalam bidang sosial, ekonomi, tehnologi, kesehatan, perbankan, dan lain sebagainya. Misalnya masalah transplantasi, inseminasi buatan, vasektomi, tubektomi, mulai dari awal pembahasan samai pada pengabilan keputusan hukumnya selalu dilandaskan pada dasar-dasar yang kuat, baik dari segi ilmiyah maupun agama, dapat dipertanggung jawabkan.

Tarjih Tidak Konfrontatif

    Dalam pelaksanaan musyawarah tarjih, mulai dari merundingkan sampai mengambil penetapan tidak terdapat sifat konfrontasi atau perlawanan yang berupa menjatuhkan hal-hal yang tidak terpilih oleh musyawarah Muktamar Tarjih. Dalam hal ini penyelidikan berlandaskan ketentuan qaidah yang tertib dan teratur, dan pertimbangan yang dilandasi hati yang bening dan berdalilkan al Quran dan as Sunnah yang cukup dapat dipertanggungkan keshahihannya, itulah yang merupakan keputusan musyawarah Tarjih. Dengan keputusan itu diharapkan dapat mempersatukan dan menjaga keutuhan keluarga Muhammadiyah dari perselisihan dan perpecahan yang semestinya tidak perlu terjadi.
    Diharapkan pula bahwa keputusan Muktamar Tarjih itu tidak akan menimbulkan perpecahan di kalangan ummat Islam pada umumnya, bahkan diharapkan dapat menjadi salah satu usaha mempersatukannya.
Kepada keluarga Muhammadiyah dalam mengamalkan dan menyebarkan keputusan-keputusan tersebut, jika mendapat teguran haraplah ditanggapi dengan baik, penuh toleransi, ditanggapi saling menghormati, jangan sampai menimbulkan perselisihan dan perpecahan.

Keluarga Muhammadiyah dan Putusan Tarjih

1.    Dengan keputusan Tarjih dimaksudkan agar memudahkan seseorang, khususnya anggota Muhammadiyah untuk melaksanakan amalan-amalan ibadahnya dengan mengetahui dalil-dalil dan alasannya.
2.    Dalil dan alasan yang menjadi dasar segala keputusan Tarjih adalah Quran dan Hadits atau pilihan hasil dari pada segala fatwa dan jalan pemahaman hukum, dengan merintis pendekatan yang semaksimal mungkin kepada al Quran dan Hadits.
3.    Hal tersebut dilakukan di tengah-tengah pembahasan bersama sehingga dirasa telah memungkinkan untuk mengambil apa yang kita namakan suatu keputusan. Pertemuan tersebut adalah Muktamar Tarjih.
4.    Dengan keputusan Tarjih diharapkan agar setiap anggota Muhammadiyah menela’ahnya sebagai hasil pertimbangan ulama-ulama Muhammadiyah untu menjadi garis amalannya.
5.    Keputusan yang diambil adakalanya merupakan satu pemilihan dari pada beberapa hasil pembahasan dalam bidang-bidang fiqih, maka ada kemungkinan bagi orang yang menela’ah segala keputusan Tarjih di luar forum Muktamar dapat mengemukakan pemihakan kepada salah satu segi pandangan berlainan dengan hasil pertimbangan Majlis Tarjih.
6.    Jika pemikiran itu dapat dikatakan mencapai taraf menyakinkan kepada pembahasan dalam lingkup pertemuan Lajnah Tarjih Wilayah sehingga merupakan hasil pertimbangan yang masak, maka persoalannya dapat dikemukakan kepada Muktamar Tarjih untu diulang pembahasannya.
7.    Masalah khilafiyah (yang diperselisihkan hukumnya) yang belum diputuskan oleh Muktamar Tarjih, hendaklah dimusyawarahkan di dalam Lajnah Tarjih setempat. Aspek  persatuan dan kesatuan haruslah selalu diutamakan, karena perpecahan ummat yang disebabkan masalah khilafiyah selamanya tidak dibenarkan.
 IJTIHAD, MAZHAB, DAN TAKLID

I.    IJTIHAD
Ijtihad dalam bahasa arab berarti sungguh-sungguh. Menurut istilah ijtihad itu adalah mencurahkan tenaga, memeras pikiran, mencurahkan segala kesanggupan yang ada pada seseorang untuk mendapatkan suatu hukum bagi suatu masalah agama yang tidak terdapat hukumnya dengan nash yang jelas, berdasarkan Al-qur’an dan Hadits yang shahih.
Pengertian di atas sama sekali tidak berarti bahwa Al-qur’an dan As-sunnah (Hadits) terdapat kekurangan yaitu beberapa masalah yang tidak ditetapkan hukumnya. Justru tentang ini telah sengaja disinggung oleh Rasulullah dalam pesannya kepada Mu’adz bin Jabal yang dikirim ke Yaman. Hak ini tersebut dalam suatu hadits yang diberitahukan oleh para sahabat Mu’adz yang diriwayatkan oleh Imam Timidzi :
“Dari beberapa orang sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman dan bertanya : bagaimana cara engkau memutuskan perkara ? Mu’adz menjawab : Aku memutuskan perkara dengan apa yang tersebut dalam Al-qur’an (kitab Allah). Rasulullah bertanya : jika dalam kitab Allah tidak engkau temui ? Mu’adz menjawab : maka aku putusi perkara dengan sunnah Rasulullah, maka Rasulullah bertanya lagi : jika tidak engkau dapati dalam sunnah Rasulullah ? Maka Mu’adz menjawab : aku akan berijtihad dengan pikiranku. Maka bersabdalah Rasulullah : segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Allah.”
Dari hadits tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw tidak hanya menyetujui tetapi juga menganjurkan penggunaan akal pikiran untuk memberi hukum terhadap suatu perkara hukum yang dalam Al-qur’an dan sunnah belum dinyatakan jelas hukumnya.
Agama Islam mengajarkan agar segala perilaku manusia harus jelas  hukumnya : apakah haram, atau halal, apakah wajib atau dilarang atau dibolehkan untuk dilakukan, apakah baik atau buruk, dan apakah benar atau salah. Dengan mengetahui hukum itu diharapkan setiap muslim dengan iman di dada akan mampu membatasi perilaku dengan hal-hal yang halal, yang diperintahkan oleh agama, yang baik dan benar. Menggunakan akal pikiran atau ra’yu inilah yang merupakan jiwa daripada ijtihad.
Dalam Muktamar Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1955 berhasil diputuskan tentang ijtihad ini sebagai berikut :
1.    Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama islam adalah Al-qur’an dan Hadits
2.    Bahwa dimana perlu dalam menghadapi soal-soal yang terjadi dan sangat menghajatkan pengetahuan hukumnya untuk diamalkan, mengenai hal-hal yang bukan ibadah mahdoh, ada hal untuk alasan hukumnya tidak terdapat nash sharih yang manthuq di dalam Qur’an dan Sunnah Shahihah, maka untuk mengetahui hukumnya dipergunakan
Alasan dengan jalan ijtihad atau istinbath dari nash-nash yang ada dengan melalui persamaan ‘illah sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.
(Istinbath ialah mengeluarkan atau mengambil kesimpulan hukum dari alasan-alasan yang dikemukakan, berita dan keadaan yang berkembang). Istinbath masuk dalam rangka ijtihad.

Hukum Ijtihad

Menurut para fuqaha, hukum ijtihad adalah wajib, berdasarkan :
1.    Firman Allah dalam surat Al-Hasyr (59) ayat 2 :
“ Maka ambillah ibarat wahai orang-orang yang mempunyai pandangan “
2.    Hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi tentang diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman, sebagaimana tersebut di atas.
3.    Hadits Rasulullah Saw :
“ Jika seseorang penguasa berijtihad, kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika ia berkuasa kemudian berijtihad tapi keliru, maka ia mendapat satu pahala.“
4.    Para sahabat dan tabi’in selalu melakukan ijtihad terhadap setiap peristiwa yang terjadi dan yang tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya.

Objek Ijtihad
Adalah setiap peristiwa hukum, baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat dzanni maupun yang belum ada nashnya sama sekali.
Contoh yang pertama, adalah : puasa Ramadhan di Eropa yang waktu siangnya mencapai 18 jam, sedangkan di negara-negara Asia umumnya hanya sekitar 13-14 jam. Demikian juga bila akan melakukan shalat di bulan.Contoh yang kedua, adalah : seperti bayi tabung, vasektomi dan tubektomi, dsbnya.
Sedangkan lapangan yang tidak boleh diijtihadkan adalah sebagai berikut :
1.    Hukum yang dibawa oleh nash yang qath’i baik kedudukannya maupun pengertiannya, atau dibawa oleh hadits mutawatir. Seperti : kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, haramnya riba, dan lain sebagainya.
2.    Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nash dan tidak pula diketahui secara pasti dari agama, melainkan telah disepakati (di ijma’i) oleh para mujtahidin dari suatu masa. Seperti : pemberian warisan sebesar 1/6 harta warisan untuk nenek perampuan, tidak sahnya kawin antara wanita muslimah dengan pria non muslim.

Pentingnya Ijtihad
Peradaban dan kebudayaan manusia terus berkembang maju dan akan senantiasa berkembang. Perkembangan itu pada umumnya semata-mata atas dorongan akal yang menginginkan kemajuan teknologi, dan atas dorongan keinginan hawa nafsu yang menuju pada kelezatan dan kemewahan serta keindahan. Maka akal dan nafsu itu akan cendrung membawa manusia kepada pelanggaran norma-norma agama dan susila demi mencapai keinginannya. Maka disini ternyata bagaimana pentingnya kedudukan ijtihad bagi penemuan hukum yang sangat diperlukan guna memisahkan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
Para ulama terdahulu telah berhasil melalui ijtihad menemukan hukum bagi berbagai macam masalah yang berkembang pada zamannya. Tetapi dewasa ini telah lebih banyak lagi masalah yang timbul dan berkembang, sebab itu maka ijtihad perlu diperkembangkan dan diperluas. Para ulama telah berhasil menciptakan beberapa metode untuk berijtihad, antara lain : qiyas, mashalih mursalah, ijma’ dan istihsan.
Qiyas. Ialah mengukur atau mempersamakan. Pengertian Qiyas menurut istilah ialah memperbandingkan atau mempersamakan hukum satu perkara dengan perkara lain berdasarkan ‘illah. Yang dimaksud dengan ‘illah ialah sebab yang mendasari ketetapan hukum. Misalnya arak diharamkan karena memabukkan, riba diharamkan karena menganiaya. Maka qiyas mengatakan bahwa benda lainpun jika ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga.
Diantara metode yang termasuk dalam rangka ijtihad, maka qiyas menempati kedudukan yang terpenting, karena teorinya lebih mendasar den lebih dekat pula kepada dalil-dalil dalam al Quran dan as Sunnah. Sebab qiyas memperbandingkan atau mempersamakan ‘illah suatu perkara/peristiwa yang telah dihukumi oleh al Quran atau as Sunnah dengan ‘illah suatu perkara lain yang belum jelas hukumnya.
Mashalihul Mursalah. Ialah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak juga dianjurkan oelh al Quran maupun as Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri dan keturunan. Maka yang termasuk mashalihul mursalah antara lain adalah mengumpulkan dan mencetak al Quran, mencetak kitab yang berisi kumpulan hadits, mencetak lafal al Quran dan Hadits dengan huruf latin bagi mereka yang belum pandai membaca huruf arab, mengadakan sekolah-sekolah khusus untuk membaca dan melagukan al Quran. Juga menggaji para pegawai yang bertugas menjalankan pekerjaan keagamaan seperti Imam shalat, Muadzin, Khatib, Hakim, Guru Agama, dan sebagainya. Demikian juga menyelenggarakan kegiatan peringatan hari besar Islam (PHBI) yang dilaksanakan dengan ceramah sebagai sarana dakwah Islamiyah.
Ijmak. Ialah di dalam menjalankan ijtihad para ulama menganggap perlu demi memperkuat hasil ijtihad mereka masing-masing untuk mengadakan kesepakatan antara beberapa atau banyak ulama. Sehingga dengan demikian hasil ijtihad tidak hanya diakui oleh seorang ulama atau beberapa ulama saja tetapi oleh banyak ulama. Kesepakatan banyak ulama ini dinamakan ijmak shahabah, atau para ulama sesudah para sahabat hingga para ulama dewasa ini.
Istihsan. Ialah penetapan hukum tidak dengan qiyas, tetapi dengan penyimpangan hukum yang khusus untuk mencapai kemanfaatan. Sebagai contoh adalah menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian masjid atau gedung sekolah. Tetapi karena biaya pembangunan belum terkumpul, maka pembangunan belum dapat dimulai. Sementara menunggu terkumpulnya biaya, tanah wakaf tersebut ditanami padi atau sejenisnya lebih dulu yang hasilnya setiap panennya disediakan untuk pembangunan.
Jelaslah bagi kita bahwa ijtiahd memainkan peranan penting dalam sejaran perkembangan hukum. Dan pada masa-masa yang akan datang ijtihad akan tetap berperan lagi untuk menjawab tantangan-tantangan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan tehnologi. Karena pada setiap masa selalu ada peristiwa-peristiwa baru yang memerlukan pemecahan hukumnya. Ini berarti pintu ijtihad terbuka terus bagi yang mamu melakukannya. Penutupan pintu ijtihad seperti yang tejadi pada masa lalu merupakan salah satu faktor kemunduran umat Islam.

II.    MAZHAB.

Bermazhab adalah orang yang memilih salah satu aliran/faham tertentu diantara aliran-aliran atau faham-faham yang ada dan berpengaruh. Orang yang sesungguhnya bermazhab ialah yang dengan sadar dan dengan ilmu pengetahuan mengikuti aliran/faham yang dipeganginya, bukan karena ikut-ikutan.

Timbulnya mazhab.
    Adanya faktor pengkultusan tokoh yang dikagumi, yang kemudian terbentuklah kelompok-kelompok pendukung yang fanatisme yang melahirkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Semula kultus itu langsung kepada Imam Mujathid. Kemudian berkembang kepada muridnya sang Imam sebagai tokoh keperayaan Imam, kemudian berkembang fanatik dan kultus kepada jama’ah Imam yang pendapatnya sudah berbeda jauh dari Imam Mujtahid yang asli atau yang pertama.
Sekarang ini ada orang yang disebut Syafi’iyah, adalah mereka yang sudah tidak langsung memahami kitab ‘al Um’ (kitab karangan Imam Syafi’i), tidak menghayati apa yang disebut pendapat Imam syafi’I terdahulu (Qual Qadim), dan apa yang disebut pendapat Imam Syafi’I yang kemudian (Qaul Jadid), tetapi mungkin hanya mendengar fatwa kiayi yang ada di desanya, atau hanya membaca kitab Syafi’iyah semacam kitab Taqrib, atau Fathul Mu’in saja.

Fatwa Para Pendiri Mazhab
1.    Imam Abu Hanifah (699 – 767 M)
“Tidak halal bagi seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui dari mana sumber pendapat kami itu.”
2.    Imam Malik (714 – 798 M)
“Aku ini hanya seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar, maka koresilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan al Quran dan as Sunnah (Hadits) ambillah ia, dan segala yang tidak sesuai dengan al Quran dan as Sunnah, tinggalkanlah.”
3.    Imam Syafi’I (767 – 854 M)
“apa yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan nabi, maka apa yang shahih dari nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti, janganlah kamu bertaklid kepadaku.”
4.    Imam Ahmad bin Hanbal (780 – 855 M)   
“Janganlah kamu bertaklid kepadaku. Jangan pula kepada Malik, jangan kepada Syafi’I, dan jangan pula kepada Ats Tsauri. Ambillah dari sumber mana mereka itu mengambil!”

III.    TAKLID

Taklid ialah mengikuti paham orang lain dengan tidak mengetahui atau tidak bermaksud mengetahui alasannya, atau mengetahui alasannya lalu dengan mutlak mengeakui kebenarannya sambil menyatakan atau tidak mengambil perhatian atas pendapat serta alasan pihak lain.
Taklid ini asalnya bukan dari agama Islam melainkan peninggalan dari agama Yahudi yang dikepalai oleh para pendetanya (Rabbaniyyun). Mereka mempunyai kekuasaan mutlak mengenai agama, dan apapun perkataannya wajib dianggap benar dan dita’ati, sebagimana difirmankan Allah swt :
“Mereka menjadikan pendeta dan orang saleh mereka sebagai Tuhan selain Allah.”
    Mempertuhankan pendeta maksudnya menganggap bahwa para pendeta itu wakil Tuhan, wajib dita’ati apapun perintah dan perkataannya. Ada sebagian ummat Islam bahwa para ulama itu wali dan kekasih Allah dan keramat. Ada juga anggapan bawa sembarang fatwa dan hukum yang ditetapkan oleh ulama adalah pasti benar dan wajib dita’ati, baik mengetahui alasannya atau tidak.

Para Imam melarang taklid :

1.    Imam Abu Hanifah : “Terlarang bagi orang-orang yang tidak mengetahui dalilku untuk memberi fatwa dengan perkataanku.”
2.    Imam Malik : “Saya ini manusia biasa, dapat salah dan bisa benar. Karena itu nilailah pendapatku dan setiap sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka terimalah, dan jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah tinggalanlah!”
3.    Imam Syafi’i : “Tiada halal bertaklid kepada seseorang selain kepada Nabi saw.” “Jika kamu sekalian berpendapat bahwa perkataanku menyalahi perkataan Rasulullah maka amalkanlah perkataan Rasulullah dan perkataanku itu lemparkan saja ke luar pagar.”
4.    Imam Ahmad bin Hambal : “Jangalah sekali-kali engkau taklid kepadaku, jangan pula taklid kepada Imam Malik, jangan pula kepada Imam Auza’i dan jangan pula kepada Imam Nakha’i serta jangan pula kepada lain-lainnya. Ambillah hukum langsung dari mana mereka mengambil.” (yaitu Quran dan Sunnah Rasul)

Allah berfirman dlam surat An Nisa (4) : 59

                                
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

QS al Hasyr (59) : 7
         
7 Segala apa diperintahkan Rasul  kepadamu,  maka laksanakanlah. Dan segala apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”

Faktor-Faktor Penyebab Berkembangnya Taklid

1.    Kultus murid para Mujtahidin untuk menokohkan Imam masing-masing
2.    Kodifikasi madzab, sehingga secara paedagogik dan psikologis secara langsung menyingkirkan Quran dan Sunnah dari perhatian ummat.
3.    Dalam bidang politis, materi madzab yang menyangkut hukum perdata dan pidana dijadikan pegangan oleh Hakim untuk menjatuhkan vonis di pengadilan. Sehingga secara paedagogis dan psikologis pula secara tidak langsung memkasa orang banyak untuk mempelajari madzab, karena materi madzab identik dengan pengadilan. Sedangkan pengadilan dapat memberikan vonis positif atau negatif pada rakyat.
4.    Penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya turut aktif menekankan populerisasi madzab.

Kemunduran Islam disebabkan :

1.    Fanatisme madzab
2.    Quran dan Hadits terkesampingkan
3.    Taklid tumbuh merajalela
4.    Perpecahan ummat

Taklid buta merupakan faktor utama yang membawa akibat negatif bagi kehidupan ummat Islam seluruh dunia :

1.    Di bidang ilmu pengetahuan, ummat Islam merosot ke lembah kebodohan dan kejumudan;
2.    Di bidang aqidah dan syari’ah, ummat Islam tenggelam dalam tkhayul bid’ah dan khurafat, faktor utama sebagai belenggu untuk maju;
3.    Di bidang politik, hampir ummat Islam sedunia mejadi jajahan bangsa lain;
4.    Di bidang sosial, hancurnya kepribadian ummat Islam dalam tata hidup kemasyarakatan, khsusunya di bidang solidaritas ukhuwah Islamiyah; dan
5.    Di bidang kebudayaan, ummat Islam hilang tempat berpijak, dan tenggelam sebagai penjiplak, plagiator dari budaya-budaya asing.






Ahlus Sunnah wal Jama’ah :
Yaitu orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasul dan Jama’ah para sahabat, yaitu mengikuti dalam i’tiqadnya, amal ibadahnya, dan perjuangannya untuk menjunjung tinggi agama Islam dan ummatnya.
Organisasi gerakan agama Islam yang mendasarkan (1) segala amal ibadahnya serta jalan pikiran dan falsafah hidupnya atas Kitab Allah dan Sunnah Rasul, (2) termasuk juga sunnah para sahabat yang diriwayatkan dalam hadits-hadits yang shahih, (3) juga berittiba’ kepada perjuangan Rasulullah dalam dakwah Islam dan pembangunan kesejahteraan masyarakat (aktif dalam dakwah dan tablighnya, madrasah dan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, masjid, mushalla, dsb). (4) Maka dengan mengembalikan segala perkara agama kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka organisasi itu termasuk ke dalam Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

BID’AH
Arti bid’ah menurut bahasa : “sesuatu yang diciptakan abru tanpa contoh yang mendahuluinya.” Sebagaiman langit dan bumi ini diciptakan Allah untuk pertama kalinya.
Arti bid’ah menururt syara’ : “suatu cara yang diadakan orang dalam agama yang menyerupai perintah agama, yang dikerjakan dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar