Kamis, 03 Januari 2013

Sem 5 - Kemuhammadiyahan II - Makalah Gerakan Muhammadiyah

GERAKAN MUHAMMADIYAH :
1.    Biografi Pendiri Muhammadiyah,  KH. Ahmad Dahlan
2.    Faktor Penyebab Berdirinya Muhammadiyah
3.    Lambang Muhammadiyah dan Arti Lambang Tersebut
4.    Maksud dan Tujuan Muhammadiyah

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kemuhammadiyahan I



Disusun oleh :
   
    Nama     :     Nanang Hariyono
    NIM     :    102210107
    Kelas         :     V Paralel

PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2012


1.    Biografi Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta (sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta) pada tanggal 1 Agustus 1868. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah Siti Aminah, puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. Ia termasuk keturunan yang kedua
belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun (tahun 1883), ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman. Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.
Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko. Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya.
Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya. Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama.

Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada Muhammadiyah. Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia.
Dalam kancah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.
Kyai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH. Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No. 657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.

2.    Faktor Penyebab Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah sendiri berdirinya dengan dilatarbelakangi untuk memperbaharui pemahaman tentang ke-Islaman di sebagian besar dunia Islam di Indonesia yang pada saat itu dianggap masih bersifat ortodoks (kolot), serta masih bercampur aduknya ajaran agama Islam dengan ajaran agama yang terdahulu atau kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Bercampur aduknya ajaran Islam dengan kebudayaan Non Islam itu sendiri sebenarnya dapat dimaklumi pada saat awal-awal penyebaran agama Islam di Indonesia. Hal ini mengingat sulitnya masyarakat pada waktu itu untuk meninggalkan kebiasaan atau ajaran yang telah lama mereka anut sejak nenek moyang, sehingga kebiasaan tersebut masih dilakukan walaupun dengan memasukan unsur Islam didalamnya. Namun seiring dengan berlalunya waktu, kebiasaan-kebiasaan atau cara-cara yang dianggap masih bercampur tersebut masih kerap dilakukan meskipun sudah berabad-abad berlalu sejak awal masuknya Islam di Indonesia, oleh karena itu Beliau (KH. Ahmad Dahlan) memandang hal ini dapat menimbulkan kebekuan ajaran Islam, stagnasi dan keterbelakangan didalam diri umat Islam. Beliau berpikir, pemahaman keagamaan yang demikian, harus diubah melalui gerakan pemurnian ajaran Islam yang kembali kepada ajaran Al-quran dan Al-Hadist.

Untuk itu pada tanggal 18 Nopember 1912, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi non politik yang bersifat sosial dan bergerak dibidang pendidikan yang diberi nama “Muhammadiyah”, KH. Ahmad Dahlan berkeinginan untuk mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam yang murni, yaitu menurut tuntunan seperti yang diajarkan didalam Al-Quran dan Al-Hadist.

Faktor-faktor yang menyebabkan didirikan Muhammadiyah, yaitu :
a.    Faktor Subyektif
Faktor subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap Al-Quran dalam menelaah, membahas, meneliti dan mengkaji kandungan isinya.
Sikap KH. Ahmad Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah SWT sebagaimana yang tersimpul dalam surat An. Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24, yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat.
Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 yang artinya ”Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Memahami seruan diatas, KH. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi, yang tugasnya berkhidmad pada melaksanakan misi dakwah Amar Makruf Nahi Mungkar ditengah masyarakat kita.

b.    Faktor Internal
Faktor internal yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah:
1.    Rusak dan hinanya umat islam dalam bidang sosial, baik dalam bidang politik, ekonomi, kebudayaan serta keagamaannya.
2.    Tidak tegak nya hidup dan kehidupan agama islam dalam diri orang dan masyarakat.
3.    Tidak bersihnya islam akibat bercampurnya dengan berbagai macam faham sehingga timbulnya bid’ah, syirik.
4.    Kurang adanya persaudaraan dan persatuan umat islam dalam membela kepentingan islam.
5.    Belum selesai dan sempurnya perjuangan para wali dalam pengembangan agama islam di indonesia.

c.    Faktor Eksternal
Beberapa Faktor Eksternal yang juga mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah:
1.    Adanya pengaruh gerakan reformasi dan purifikasi yang di pelopori oleh Jamaluddin Al Afghani Muhammad Abduh, serta Muh. Abd. Wahab.
2.    Kegiatan-kegiatan kristening politik, yaitu usaha-usaha misi dan zending yang bermaksud mengkristenkan umat islam Indonesia.
3.    Adanya penjajahan kolonialis, yang membelenggu umat Islam Indonesia dan penestrasi kebudayaan barat, sehingga menimbulkan sikap acuh tak acuh bahkan mencemohkan Islam dari kalangan pelajar Indonesia,dan akibat-akiabat negatif lainnya.



3.    Lambang Muhammadiyah dan Arti Lambang Tersebut
Bentuk Lambang
Lambang persyarikatan berbentuk matahari yang memancarkan  duabelas sinar yang mengarah ke segala penjuru dengan sinarnya yang putih bersih bercahaya. Di tengah-tengah matahari terdapat tulisan dengan huruf Arab : Muhammadiyah. Pada lingkaran yang mengelilingi tulisan huruf Arab berwujud kalimat syahadat tauhid : asyhadu anal ila,ha illa Allah (saya bersaksi bahwasannya tidak ada Tuhan kecuali Allah); di lingkaran sebelah atas dan pada lingkaran bagian bawah tertulis kalimat syahadat Rasul : wa asyhadu anna Muhammaddar Rasulullah (dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Seluruh Gambar matahari dengan atributnya berwarna putih dan terletak di atas warna dasar hijau daun.


Arti Lambang
a.    Matahari merupakan titik pusat dalam tata surya dan merupakan sumber kekuatan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Jika matahari menjadi kekuatan cikal bakal biologis, Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi sumber kekuatan spiritual dengan nilai-nilai Islam yang berintikan dua kalimat syahadat.
b.    Duabelas sinar matahari yang memancar ke seluruh penjuru diibaratkan sebagai tekad dan semagat warga Muhammadiyah dalam memperjuangkan Islam, semangat yang pantang mundur dan pantang menyerah seperti kaum Hawari (sahabat nabi Isa yang berjumlah 12)
c.    Warna Putih pada seluruh gambar matahari melambangkan kesucian dan keikhlasan
d.    Warna Hijau yang menjadi warna dasar melambangkan kedamaian dan kesejahteraan.


4.    Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
 Maksud dan Tujuan Muhammadiyah 1912 – sekarang :
1.          1912 - KH Ahmad Dahlan (1912-1923)
Maka Perhimpunan itu maksudnya :
a.    Menyebarluaskan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta.
b.    Memajukan hal agama kepada anggauta-anggautanya

2.    1914 & 1921 - KH Ahmad Dahlan (1912-1923)
Maksud Persyarikatan ini yaitu :
a.    Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland.
b.    Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.

 KH Ibrahim (1923-1932)

3.    1934 - KH Hisyam (1932-1936)
Hajat Persyarikatan yaitu :
a.    Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Nederland.
b.    Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).

4.    1941 - KH Mas Mansur (1936-1942)
Hajat Persyarikatan yaitu:
a.    Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Indonesia.
b.    Memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).

5.    1943 - Ki Bagoes Hadikoesoemo (1942-1953)
Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini:
a.    Hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntunannya
b.    Hendak melakukan pekerjaan kebaikan kebaikan umum
c.    Hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya; kesemuanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai.

6.    1946 - Ki Bagoes Hadikoesoemo (1942-1953)
Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

7.    1950 - Ki Bagoes Hadikoesoemo (1942-1953)
Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

 Buya AR Sutan Mansur (1953-1959)

8.    1959 - KH M Yunus Anis (1959-1962)
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

9.    1966 - KH Ahmad Badawi (1962-1968)
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

10.    1968 - KH Faqih Usman (1968-1971)
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

11.    1985 - KH AR Fachruddin (1971-1990)
Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata‘ala.

 KH A Azhar Basyir (1990-1995)
 Prof Dr H Amien Rais (1995-2000)

12.    2000 - Prof Dr H Ahmad Syafi'i Ma'arif (2000-2005)
Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

13.      2005 - Prof Dr H Din Syamsuddin (2005-sekarang)
Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Untuk mencapai maksud dan tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan. Usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Usaha Muhammadiyah yang diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan meliputi:
1.    Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
2.    Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.
3.    Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah, hibah, dan amal shalih lainnya.
4.    Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia.
5.    Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta meningkatkan penelitian.
6.    Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas
7.    Meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
8.    Memelihara, mengembangkan, dan mendayagunakan sumberdaya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan.
9.    Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerjasama dalam berbagai bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.
10.    Memelihara keutuhan bangsa serta berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
11.    Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelaku gerakan.
12.    Mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber dana untuk mensukseskan gerakan.
13.    Mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran serta meningkatkan pembelaan terhadap masyarakat.
14.    Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah

Bentuk Amal Usaha :
No    Jenis Amal Usaha    Jumlah
1    TK/TPQ    4.623
2    Sekolah Dasar (SD)/MI    2.604
3    Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs    1.772
4    Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA    1.143
5    Pondok Pesantren    67
 6    Jumlah total Perguruan tinggi Muhammadiyah    172
7    Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP, dll    457
8    Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga, dll.    318
9    Panti jompo    54
10    Rehabilitasi Cacat    82
11    Sekolah Luar Biasa (SLB)    71
12    Masjid    6.118
13    Musholla    5.080
14    Tanah    20.945.504   M²

Lembaga-Lembaga :
1.    Lembaga Amal Zakat Infaq dan Shodaqqoh (LAZIS)
2.    Lembaga Hubungan dan Kerjasama International
3.    Lembaga Pengawas Pengelolaan Keuangan
4.    Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
5.    Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
6.    Lembaga Penanganan Bencana
7.    Lembaga Seni Budaya dan Olahraga

Kegiatan-Kegiatan Keorganisasian :
1.    Aisyiyah
2.    Pemuda Muhammadiyah
3.    Nasyiyatul Aisyiyah
4.    Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah
5.    Ikatan Pelajar Muhammadiyah
6.    Hizbul Wathan
7.    Tapak Suci

Ketua Umum Muhammadiyah
1.    KH Ahmad Dahlan (1912-1923)
2.    KH Ibrahim (1923-1932)
3.    KH Hisyam (1932-1936)
4.    KH Mas Mansur (1936-1942)
5.    Ki Bagoes Hadikoesoemo (1942-1953)
6.    Buya AR Sutan Mansur (1953-1959)
7.    KH M Yunus Anis (1959-1962)
8.    KH Ahmad Badawi (1962-1968)
9.    KH Faqih Usman (1968-1971)
10.    KH AR Fachruddin (1971-1990)
11.    KH A Azhar Basyir (1990-1995)
12.    Prof Dr H Amien Rais (1995-2000)
13.    Prof Dr H Ahmad Syafi'i Ma'arif (2000-2005)
14.    Prof Dr H Din Syamsuddin (2005-sekarang)


5.    Daftar Pustaka

http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/12/biografi-kh-ahmad-dahlan.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan

http://aam.wen.ru/ebook/manhaj/muhammadiyah.htm

http://www.pendongeng.com/biografi-tokoh-indonesia/528-biografi-kh-ahmad-dahlan.html

http://cacarani.blogspot.com/2011/10/faktor-yang-mempengaruhi-berdirinya.html

http://www.muhammadiyah.or.id/content-53-det-ciri-khas.html

http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2010/07/100705_muhammadiyahleader.shtml




MATERI KULIAH AIK 5
KEMUHAMMADIYAHAN 1
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
TAHUN  2012 - 2013

KEMUHAMMADIYAHAN


Pengertian Muhammadiyah

    Secara etimologis nama Muhammadiyah berasal dari kata Muhammad, yaitu Nabi Muhammad saw, dan diberi tambahan ya’ nisbah dan ta’ marbutoh yaitu pengikut Nabi Muhammad saw.  KHA. Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, menegaskan bahwa Muhammadiyah berarti ummat Muhammad, pengikut Nabi Muhammad saw. Dalam anggaran Muhammadiyah disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada Al Quran dan Hadits yang shahih.

Faktor-faktor Penyebab Berdirinya

    Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan oleh KHA. Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 atau 18 Nopember 1912 di Yogyakarta.  Ada beberapa alasan yang sering dikemukakan oleh kalangan Muhammadiyah  yang menyebab kan KHA. Dahlan mendirikan organisasi ini adalah sbb :
1.  Beliau melihat bahwa umat Islam tidak memegang teguh Al Quran dan As Sunnah dalam beramal dan bertauhid sehingga takhayyul, khurafat, bid’ah dan syirik meraja- lela, akhlak masyarakat runtuh. Akibatnya amalan-amalan mereka bercampur baur antara yang benar dan yang salah.
2.     Lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa itu tidak efisien. Pesantren yang menjadi lembaga pendidikan kalangan bawah pada masa itu dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada waktu itu pendidikan di Indonesia terpecah dalam dua model, yaitu model pendidikan sekuler yang dikembangkan oleh Belanda dan pendidikan pesantren yang hany mengajarkan ilmu- ilmu agama saja. Akibatnya timbul jurang pemisah yang sangat dalam antara golongan yang mendapat pendidikan sekuler dengan golongan yang berpendidikan pesantren. Hal ini juga yang menjadi penyebab pecahnya rasa persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) dikalangan umat Islam sendiri, yang akhirnya melemahkan kekuatan Islam.
3. Kemiskinan menimpa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Orang kaya hanya mementingkan dirinya sendiri, dan banyak ulama lupa mengingatkan umatnya bahwa Islam mewajibkan zakat bagi si kaya, sehingga hak-hak orang miskin terabaikan.
4. Kebanyakan umat Islam hidup dalam fanatisme yang sempit, bertaklid buta dan berpikir secara dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
5. Aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah aktif beroperasi sejak awal abad ke 19, dan sekolah-sekolah misi itu mendapat subsidi dari pemerintah Belanda.

Gerakan Muhammadiyah

    Melihat keadaan umat Islam yang demikian itulah, dan didorong oleh pemahaman yang mendalam terhadap surat Ali Imron ayat 104, KHA Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharu dan mengajak umat Islam untuk kembali beribadah, bertauhid dan berakhlak sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Sunnah Rasul.
Pada mulanya Muhammadiyah, sesuai dengan perkembangan yang berkembang pada awal berdirinya melakukan aktivitas-aktivitas sbb :
1. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak Islami. Hal ini dilakukan dengan menggiatkan dan meperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, memperkuat ibadah, dan menggembirakan dakwah amar makruf hani munkar, serta memelihara tempat-tempat ibadah dan wakaf.
2.    Mengadakan reformulasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern.
3. Mengadakan reformasi ajaran-ajaran dan pendidikan Islam dengan memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah Belanda dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang berbeda pola dengan pendidikan pesantren, yakni memberikan pelajaran agama dan umum secara bersama-sama.
4.    Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar dengan jalan membentengi para pemuda, wanita, pelajar, rakyat biasa dengan membangkitkan kesadaran beragama mereka, dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Rasa persatuan dan ukhuwah Islamiyah di kalangan umat Islam digalang kembali.

Maksud dan Tujuan Muhammadiyah

    Rumusan “Maksud dan Tujuan Muhammadiyah” mengalami perubahan dari keadaan kepada keadaan lainnya sesuai dengan perkembangan masa.  Pada awal berdiri nya, rumusan itu berbunyi :  (a)  menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumiputera di dalam Karesidenan Yogyakarta; dan  (b) memajukan agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Setelah Muhammadiyah meluas keluar daerah Yogyakarta, dan setelah berdirinya beberapa cabang di wilayah Indonesia, rumusan Maksud dan Tujuan Muhammadiyah disempurnakan menjadi : (a) memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda; dan  (b)  memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
Setelah keluarnya Undang-undang No. 8 tahun 1985 yang mewajibkan organisasi kemasyarakatan mencantumkan satu azas Pancasila, maka terjadilah perubahan azas Muhammadiyah dari Islam menjadi Pancasila. Akibatnya rumusan Maksud dan Tujuan Muhammadiyah juga berubah. Perubahan itu dihasilkan melalui Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta, menjadi : “Mengakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
    Tujuan Muhammadiyah sebagai yang dikemukakan di atas menjadi titik tolak dalam merumuskan ideal atau landasan cita-cita Muhammadiyah yang disebut dengan  “Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.”  Landasan ideal ini memberikan gambaran tentang pandangan hidup Muhammadiyah, tujuan hidup Muhammadiyah  serta metode untuk mencapai tujuan hidup tersebut.  Matan “Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah yang dirumuskan dalam sidang Tanwir (Institusi tertinggi dalam Muhammadiyah, setingkat di bawah Muktamar) pada tahun 1978 menjelang Muktamar Muhammadiyah ke 37 di Yogyakarta, membuat prinsip-prinsip sebagai berikut :

1.    Muhammadiyah adalah gerakan yang berazaskan Islam, bekerja dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.
2.    Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah SWT yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai pada nabi penutup Muhammad saw sebagai hidayah dan rahmat Allah SWT kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan material dan spritual, duniawi dan ukhrowi.
3.    Muhammadiyah mengamalkan Islam berdasarkan Al Quran dan  Sunnah Rasulullah saw, serta menggunakan akal pikiran sesuai dengan ajaran Islam.
4.    Muhammadiyah bekerja demi terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah (kemasyarakatan) duniawi.
5.    Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang mendapat karunia Allah SWT berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikannya suatu negara adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.

Dienul Islam pada Masa Rasulullah saw.

Ciri khas Islam pada zaman Nabi saw
1.    Nabi menyampaikan ajaran Islam lewat al Quran sebagai wahyu yang diterima dari Allah yang diturunkan secara berangsur-angsur sampai selesainya al Quran diturunkan sepenuhnya.
2.    Nabi memberikan penjelasan, penafsiran, keterangan tehnis pelaksanaan atas ayat-ayat yang sifatnya global, seperti perintah shalat, puasa, zakat, haji, dan semua yang menyangkut hal ikhwal tentang caranya, kapan dikerjakannya, berapa kali dikerjakan, dan apa saja yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam menjalankan perintah-perintah tersebut. Penjelasan-penjelasan nabi tsb disebut hadits atau sunnah
3.    Ummat Islam pada waktu itu menyesuakan diri dalam mengamalkan akidah, syari’ah, akhlak/etika, dan mu’amalah atas dasar wahyu yang sedang diturunkan dan sabda Nabi sebagai penjelasan wahyu tersebut, dengan didasaei sikap “as sam’u wat tho’ah.” Kami mendengar dan kami patuh/taat. Banyak wahyu yang diturunkan justru menjawab masalah-masalah yang ditanyakan pada Nabi. Kasus-kasus yang menyebabkan turunnya wahyu disebut asbabun nuzul.

Sumber Hukum
1.    Wahyu al Quran (yang sedang dalam proses diturunkan) sebagai sumber hukum tertinggi
2.    Sunnah Nabi : penjelasan, penafsiran Nabi terhadap wahyu, keteladanan Nabi, dan hal-hal yang dikerjakan oleh seseorang, Nabi mentolerirnya (mendiamkan) masalah tersebut.
3.    Ijtihad. Kebolehan ijtihad diberikan Nabi kepada seorang sahabat, yang karena segi tehnis tidak dimungkinkan komunikasi secara langsung kepada Nabi  dari negeri yang jauh, seperti Yaman.


Muhammadiyah Adalah Organisasi Dakwah Islamiyah

Kepribadian Muhammadiyah menetapakn bahwa Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan gerakan Islam, maksudnya adalah dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar dalam segala aspek kehidupan manusia, baik perseorangan maupun kelompok manusia secara kolektif, untuk terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Kepribadian Muhammadiyah menetapkan bahwa Muhammadiyah berjuang dalam segala bidang, seperti bidang keagamaan, sosial ekonomi, kebudayaan, bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lainnya, yang sifat geraknya aktif, kreatif, dinamis, konstruktif dan fleksibel tanpa mengorbankan prinsip.
Kepribadian Muhammadiyah menuntut bahwa untuk dapat terlaksananya semua ini, Persyarikatan harus dibina sebaik-baiknya dengan landasan pedoman perjuangannya adalah al Quran dan Hadits dengan menggunakan akal pikiran sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Bagi Muhammadiyah berjuang adalah wajib, berdakwah adalah wajib, menyantuni dhu’afa dan anak yatim adalah wajib, memajukan pendidikan dan pengajaran ummat adalah wajib, dan berjuang dengan memajukan gerak Muhammadiyah adalah wajib hukumnya.

Pedoman-Pedoman  Pokok Dakwah
1.    Kebijaksanaan dakwah : (1) diberikan secara positif dan sederhana, (2) bersifat memberikan kemudahan, tidak mempersukar, (3) bersifat menggembirakan, tidak membuat orang jauh dari agama Islam, (4) secara berangsur-angsur,  (5) menonjlkan Islam denga menghindari masalah khilafiyah, (6) tidak melibatkan diri dalam politik, dan (7) mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah.
2.    Objek dakwah :  seluruh penduduk negara Indonesia, merata ke seluruh golongan dan lapisan.
3.    Subyek dakwah :  semua anggota Muhammadiyah adalah Muballigh dan Muballighat. Pimpinan Muhammadiyah adalah Pimpinan Gerakan Dakwah. Petugas-petugas Muhammadiyah (guru, juru rawat, staf TU, dlsb) adalah aparat dakwah. Keluarga dan ummat Muhammadiyah adalah pendukung dakwah.
4.    Materi dakwah : mahasinul Islam dalam segala aspeknya dan perbandingan agama.
5.    Sistem dan metode dakwah : menggunakan sistem Dakwah Jama’ah dan metode integrasi/terpadu.

Mengapa mesti dakwah ?

    Sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar, dasarnya adalah :
QS Ali Imran ayat 104 :
  •               
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.

[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

QS Ali Imran ayat 110 :

  •  ••                       
110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

QS An Nahl ayat 125 :

             •     •         
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Tentang kewajiban dakwah, Nabi Muhammad saw bersabda :

مَنْ رَاَى مِـنْـكُـمْ مُـنْكَرًا فَـلْيُـغَـيِّرْهُ بِـيَدِهِ , فَإِنْ لَـمْ يَـسْتَـطِـعْ فَـبِلِسَانِـهِ , فَإِنْ لَـمْ يَـسْتَـطِـعْ فَإِنْ لَـمْ يَـسْتَـطِـعْ فَـبِقَـلْبِـهِ , وَذَلِكَ اَضْـعَـفُ لْاِيْـمَـانِ . ( مـتـفـق عـلـيه )

“Barangsiapa di antara kamu  yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia berani mencegah (mengubah) nya dengan tangannya (dengan kekuatan atau kekuasaan). Jika ia tidak mampu mengubah/mencegah dengan tangannya (karena tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan), maka ubahlah/cegahlah dengan lidahnya (dengan teguran, nasihat). Jika tidak mampu mengubah/mencegah dengan lisan, maka hendaklah ia ubah dengan hati. Dan (dengan cara ini) merupakan iman yang paling lemah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda lagi,

1.    “Apabila manusia melihat kemunkaran dan mereka tidak mencegah (mengubah)nya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa/adzab secara merata dan umum.”

2.    “Sejelek-jelek kaum ialah mereka yang tidak menyuruh menegakkan keadilan, dan sejelek-jelek kaum ialah mereka yang tidak menyuruh berbuat baik (makruf) dan tidak melarang berbuat jahat (munkar).
Sabda Rasulullah saw yang terakhir :
بَـلِغُـوا عَـِنى وَلَـوْ ا'يَـةِ
“Sampaikanlah (apa yang kamu terima) dariku maskipun satu ayat.”

    Dalil-dalil di atas itulah yang melandasi kewajiban dakwah Islamiyah. Muhammadiyah menyadari benar bahwa banyak bidang garap yang tidak akan bisa diatasi dengan dakwah secara individu, tetapi membutuhkan keterlibatan banyak orang. Disinilah perlunya sebuah organisasi. Firman Allah swt dalam al Quran surat Ash Shaf ayat 4 menyatakan :
•          •   
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang (berjihad) dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
    Kata “jihad” dalam ayat tersebut tidak identik dengan perang. Perang adalah satu makna saja dari arti jihad. Jihad meliputi hal yang luas, termasuk menyampaikan dakwah dan mempertahankan ajaran Islam, kesungguhan berkorban untuk meluhurkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Membela kebenaran dan keluhuran Islam serta membela kepentingannya, itulah inti jihad.
    Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kebersamaan yang teratur dalam bentuk organisasi terpadu diperlukan dalam melancarkan Dakwah Islamiyah.

Sifat, Fungsi, dan Misi Muhammadiyah.
Sifatnya Muhammadiyah adalah keagamaan Islam
Fungsi Muhammadiyah, menjunjung tinggi agama Islam (mempelajari, memahami, mengamalkan, menjaga kemurniannya, serta membela kepentingannya).
Misi Muhammadiyah, adalah dakwah Islam amar makruf nahi  munkar, mendidik, membimbing dan menyntuni umat agar senantiasa pada jalan yang lurus lempang menuju kepada masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah swt.


K E T A R J I H A N

Dalam pengertian bahasa “mencari yang lebih kuat.” Berdasarkan istilah dalam Muhammadiyah ialah bermusyawarah bersama dengan tokoh-tokoh ahli untuk meneliti, membanding, menimbang, memilih segala masalah yang diperselisihkan karena adanya perbedaan pendapat di kalangan orang awam, manakah yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih benar, dan lebih dekat dari sumber utamanya, Quran dan Hadits.

Contoh masalah yang memerlukan pentarjihan.
“Suami yang dalam shalat, dengan tidak sengaja si isteri menyentuh tangannya atau kakinya yang tidak terbungkus. Apakah batal shalatnya, dan wajibkah ia mengambil wudhu lagi buat melanjutkan shalatnya?”

Quran surat Al Maidah  ayat 6 menyatakan :
                                                
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Di dalam kalimat     (laamastumun nisa) yang berarti “menyentuh wanita” ada
yang bertanya apakah yang dimaksud berjabat tangan dan sentuhan-sentuhan dengan yang lain, ataukah yang dimaksudkan mengumpuli wanita secara khusus? Kalau yang dimaksud pertama maka berjabat tangan dengan wanita adalah membatalkan wadhu, maka bagi seseorang yang melakukannya atau yang bersentuh dengan wanita tidak diperbolehkan menjalankan shalat kecuali ia harus berwudhu dulu. Dan bila yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut adalah mengumpuli wanita secara khusus maka menyentuh dengan tangan atau lainnya tidak membatalkan wudhu.

Penjelasan :
Ada sebagian imam/ulama menafsirkan kata lamas dalam ayat tersebut di atas dengan menyentuh dengan tangan dan sebagainya, yang berarti dapat membatalkan wudhu. Karena menurut asal bahasa perkatan لـمـس   (lamas) dalam ayat tersebut artinya ialah persentuhan suatu barang dengan barang lainnya.
Ada sebagian imam/ulama yang menafsirkannya dengan mencampuri secara khusus, sehingga menyentuh dengan tangan tidak membatalkan wudhu. Alasannya :

Pertama,  al Quran banyak menggunakan kata al massu dengan arti memelihara kehormatan, seperti ayat 47  Al Imran :
                           
47. Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia.

Al Quran surat al Baqarah ayat 237 :
         
237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,

Kedua, Hadits-hadits yang menerangkan masih tetapnya wudhu karena menyentuh wanita dengan tangan adalah hadits-hadits shahih :
“Telah berkata ‘Aisyah : saya pernah tidur di hadapan Rasulullah saw sedang kedua kaki saya itu nenghadap beliau, maka apabila sujud beliau memecit kaki saya, lalu saya menarik kaki saya, kemudian apabila beliau berdiri, saya ulurkan kedua kaki saya. Aisyah berkata : bahwa rumah-rumah pada masa itu tidak berlampu. (H.S.R. Bukhari)
Hadits lain yang artinya :
“Telah berkata ‘Aisyah : bahwasanya Rasulullah saw pernah shalat, padahal saya tidur melintang di hadapan sebagimana mayit, sehingga apabila beliau itu hendak bershalat witir, beliau menyentuh saya dengan kakinya.” (H.S.R. Nasai)
“Telah berkata ‘Aisyah : pada satu malam saya kehilangan Rasulullah saw dari tempat tidur, lalu saya meraba beliau di dalam gelap, maka terletaklah dua tangan saya di dua tapak kakinya yang tercacak, sedang ia di dalam bersujud.”(H.S.R.Muslim, Turmudzi dan Baihaqi)

Ketiga, bahwa tidak batalnya wudhu karena bersalaman dengan wanita, atau bersentuhan antara laki-laki dengan wanita ketika mengerjakan thawaf di Ka’bah, adalah suatu kemudahan yang didasarkan atasnya syari’at dan ditutup dengan dia ayat-ayat bersuci ;
                  
6.. Allah tidak hendak menjadikan kesempitan bagi kamu, tetapi Allah menghendaki kesucian bagi dirimu dan Dia akan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Peserta Permusyawaratan Tarjih

    Peserta Musyawarah Tarjih dalam bentuk muktamar ialah Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Anggota Lajnah Tarjih Pusat yang ada di wilayah, utusan dari wilayah, plus undangan tokoh-tokoh ulama di luar Muhammadiyah. Dengan demikian maka jelas bahwa Musyawarah Tarjih bersifat terbuka karena bukan saja dari intern Muhammadiyah tapi juga diikuti oleh ulama-ulama di luar Muhammadiyah. Muhammadiyah beranggapan bahwa pebahasan mengenai “hukum Islam” yang diperlukan oleh orang/umat awam bukan hanya merupakan masalah Muhammadiyah sendiri, tetapi sudah meluas menjadi kepentingan umat Islam seluruhnya, perlu dibicarakan bersama-sama.

Tugas Lajnah Tarjih

    Tugas Lajnah Tarjih adalah berikut ini :
1.    Menyelidiki dan memahami ilmu agama untuk memperoleh kemurniannya;
2.    Menyusun tuntunan Aqidah, Ibadah, dan Mu’amalat duniwiyah;
3.    Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun Majlis Tarjih sendiri memandang perlu;
4.    Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih mashlahat;
5.    Mempertinggi kualitas Ulama, dan
6.    Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkanoleh Pimpinan Persyarikatan.

Tugas Majlis Tarjih mencakup juga melakukan riset, penyelidikan dan penelitian yang mendalam tentang masalah yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat akibat dari  perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi untuk mendapat jawaban secara tepat dari Majlis Tarjih, baik itu menyangkut persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya, seni, dan lain sebagainya.

Tertib Hukum Menurut Tarjih
    Majlis Tarjih/Lajnah Tarjih dalam melakukan penyelidikan/penelitian dan pembahasan mengenai masalah-masalah keagamaan dengan tujuan mendapatkan dalil-dalil yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih benar, dan lebih dekat dari sumber utamanya, Quran dan Hadits, selalu bersendikan pada dua (2) sumber utama, yaitu al Quran dan as Sunnah yang memenuhi syarat untuk diterima dengan menggunakan akal pikiran yang tertib dan teratur, bersendikan ketentuan-ketentuan metode ijtihad. Sedangkan Qiyas atau analogi digunakan hanya untuk masalah- masalah yang bukan ibadah mahdhoh (murni) dan masalahnya sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
    Selain tokoh-tokoh agama, Majlis Tarjih juga didampingi dan didukung oleh para ahli dalam bidang sosial, ekonomi, tehnologi, kesehatan, perbankan, dan lain sebagainya. Misalnya masalah transplantasi, inseminasi buatan, vasektomi, tubektomi, mulai dari awal pembahasan samai pada pengabilan keputusan hukumnya selalu dilandaskan pada dasar-dasar yang kuat, baik dari segi ilmiyah maupun agama, dapat dipertanggung jawabkan.

Tarjih Tidak Konfrontatif

    Dalam pelaksanaan musyawarah tarjih, mulai dari merundingkan sampai mengambil penetapan tidak terdapat sifat konfrontasi atau perlawanan yang berupa menjatuhkan hal-hal yang tidak terpilih oleh musyawarah Muktamar Tarjih. Dalam hal ini penyelidikan berlandaskan ketentuan qaidah yang tertib dan teratur, dan pertimbangan yang dilandasi hati yang bening dan berdalilkan al Quran dan as Sunnah yang cukup dapat dipertanggungkan keshahihannya, itulah yang merupakan keputusan musyawarah Tarjih. Dengan keputusan itu diharapkan dapat mempersatukan dan menjaga keutuhan keluarga Muhammadiyah dari perselisihan dan perpecahan yang semestinya tidak perlu terjadi.
    Diharapkan pula bahwa keputusan Muktamar Tarjih itu tidak akan menimbulkan perpecahan di kalangan ummat Islam pada umumnya, bahkan diharapkan dapat menjadi salah satu usaha mempersatukannya.
Kepada keluarga Muhammadiyah dalam mengamalkan dan menyebarkan keputusan-keputusan tersebut, jika mendapat teguran haraplah ditanggapi dengan baik, penuh toleransi, ditanggapi saling menghormati, jangan sampai menimbulkan perselisihan dan perpecahan.

Keluarga Muhammadiyah dan Putusan Tarjih

1.    Dengan keputusan Tarjih dimaksudkan agar memudahkan seseorang, khususnya anggota Muhammadiyah untuk melaksanakan amalan-amalan ibadahnya dengan mengetahui dalil-dalil dan alasannya.
2.    Dalil dan alasan yang menjadi dasar segala keputusan Tarjih adalah Quran dan Hadits atau pilihan hasil dari pada segala fatwa dan jalan pemahaman hukum, dengan merintis pendekatan yang semaksimal mungkin kepada al Quran dan Hadits.
3.    Hal tersebut dilakukan di tengah-tengah pembahasan bersama sehingga dirasa telah memungkinkan untuk mengambil apa yang kita namakan suatu keputusan. Pertemuan tersebut adalah Muktamar Tarjih.
4.    Dengan keputusan Tarjih diharapkan agar setiap anggota Muhammadiyah menela’ahnya sebagai hasil pertimbangan ulama-ulama Muhammadiyah untu menjadi garis amalannya.
5.    Keputusan yang diambil adakalanya merupakan satu pemilihan dari pada beberapa hasil pembahasan dalam bidang-bidang fiqih, maka ada kemungkinan bagi orang yang menela’ah segala keputusan Tarjih di luar forum Muktamar dapat mengemukakan pemihakan kepada salah satu segi pandangan berlainan dengan hasil pertimbangan Majlis Tarjih.
6.    Jika pemikiran itu dapat dikatakan mencapai taraf menyakinkan kepada pembahasan dalam lingkup pertemuan Lajnah Tarjih Wilayah sehingga merupakan hasil pertimbangan yang masak, maka persoalannya dapat dikemukakan kepada Muktamar Tarjih untu diulang pembahasannya.
7.    Masalah khilafiyah (yang diperselisihkan hukumnya) yang belum diputuskan oleh Muktamar Tarjih, hendaklah dimusyawarahkan di dalam Lajnah Tarjih setempat. Aspek  persatuan dan kesatuan haruslah selalu diutamakan, karena perpecahan ummat yang disebabkan masalah khilafiyah selamanya tidak dibenarkan.
 IJTIHAD, MAZHAB, DAN TAKLID

I.    IJTIHAD
Ijtihad dalam bahasa arab berarti sungguh-sungguh. Menurut istilah ijtihad itu adalah mencurahkan tenaga, memeras pikiran, mencurahkan segala kesanggupan yang ada pada seseorang untuk mendapatkan suatu hukum bagi suatu masalah agama yang tidak terdapat hukumnya dengan nash yang jelas, berdasarkan Al-qur’an dan Hadits yang shahih.
Pengertian di atas sama sekali tidak berarti bahwa Al-qur’an dan As-sunnah (Hadits) terdapat kekurangan yaitu beberapa masalah yang tidak ditetapkan hukumnya. Justru tentang ini telah sengaja disinggung oleh Rasulullah dalam pesannya kepada Mu’adz bin Jabal yang dikirim ke Yaman. Hak ini tersebut dalam suatu hadits yang diberitahukan oleh para sahabat Mu’adz yang diriwayatkan oleh Imam Timidzi :
“Dari beberapa orang sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman dan bertanya : bagaimana cara engkau memutuskan perkara ? Mu’adz menjawab : Aku memutuskan perkara dengan apa yang tersebut dalam Al-qur’an (kitab Allah). Rasulullah bertanya : jika dalam kitab Allah tidak engkau temui ? Mu’adz menjawab : maka aku putusi perkara dengan sunnah Rasulullah, maka Rasulullah bertanya lagi : jika tidak engkau dapati dalam sunnah Rasulullah ? Maka Mu’adz menjawab : aku akan berijtihad dengan pikiranku. Maka bersabdalah Rasulullah : segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Allah.”
Dari hadits tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw tidak hanya menyetujui tetapi juga menganjurkan penggunaan akal pikiran untuk memberi hukum terhadap suatu perkara hukum yang dalam Al-qur’an dan sunnah belum dinyatakan jelas hukumnya.
Agama Islam mengajarkan agar segala perilaku manusia harus jelas  hukumnya : apakah haram, atau halal, apakah wajib atau dilarang atau dibolehkan untuk dilakukan, apakah baik atau buruk, dan apakah benar atau salah. Dengan mengetahui hukum itu diharapkan setiap muslim dengan iman di dada akan mampu membatasi perilaku dengan hal-hal yang halal, yang diperintahkan oleh agama, yang baik dan benar. Menggunakan akal pikiran atau ra’yu inilah yang merupakan jiwa daripada ijtihad.
Dalam Muktamar Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1955 berhasil diputuskan tentang ijtihad ini sebagai berikut :
1.    Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama islam adalah Al-qur’an dan Hadits
2.    Bahwa dimana perlu dalam menghadapi soal-soal yang terjadi dan sangat menghajatkan pengetahuan hukumnya untuk diamalkan, mengenai hal-hal yang bukan ibadah mahdoh, ada hal untuk alasan hukumnya tidak terdapat nash sharih yang manthuq di dalam Qur’an dan Sunnah Shahihah, maka untuk mengetahui hukumnya dipergunakan
Alasan dengan jalan ijtihad atau istinbath dari nash-nash yang ada dengan melalui persamaan ‘illah sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.
(Istinbath ialah mengeluarkan atau mengambil kesimpulan hukum dari alasan-alasan yang dikemukakan, berita dan keadaan yang berkembang). Istinbath masuk dalam rangka ijtihad.

Hukum Ijtihad

Menurut para fuqaha, hukum ijtihad adalah wajib, berdasarkan :
1.    Firman Allah dalam surat Al-Hasyr (59) ayat 2 :
“ Maka ambillah ibarat wahai orang-orang yang mempunyai pandangan “
2.    Hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi tentang diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman, sebagaimana tersebut di atas.
3.    Hadits Rasulullah Saw :
“ Jika seseorang penguasa berijtihad, kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika ia berkuasa kemudian berijtihad tapi keliru, maka ia mendapat satu pahala.“
4.    Para sahabat dan tabi’in selalu melakukan ijtihad terhadap setiap peristiwa yang terjadi dan yang tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya.

Objek Ijtihad
Adalah setiap peristiwa hukum, baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat dzanni maupun yang belum ada nashnya sama sekali.
Contoh yang pertama, adalah : puasa Ramadhan di Eropa yang waktu siangnya mencapai 18 jam, sedangkan di negara-negara Asia umumnya hanya sekitar 13-14 jam. Demikian juga bila akan melakukan shalat di bulan.Contoh yang kedua, adalah : seperti bayi tabung, vasektomi dan tubektomi, dsbnya.
Sedangkan lapangan yang tidak boleh diijtihadkan adalah sebagai berikut :
1.    Hukum yang dibawa oleh nash yang qath’i baik kedudukannya maupun pengertiannya, atau dibawa oleh hadits mutawatir. Seperti : kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, haramnya riba, dan lain sebagainya.
2.    Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nash dan tidak pula diketahui secara pasti dari agama, melainkan telah disepakati (di ijma’i) oleh para mujtahidin dari suatu masa. Seperti : pemberian warisan sebesar 1/6 harta warisan untuk nenek perampuan, tidak sahnya kawin antara wanita muslimah dengan pria non muslim.

Pentingnya Ijtihad
Peradaban dan kebudayaan manusia terus berkembang maju dan akan senantiasa berkembang. Perkembangan itu pada umumnya semata-mata atas dorongan akal yang menginginkan kemajuan teknologi, dan atas dorongan keinginan hawa nafsu yang menuju pada kelezatan dan kemewahan serta keindahan. Maka akal dan nafsu itu akan cendrung membawa manusia kepada pelanggaran norma-norma agama dan susila demi mencapai keinginannya. Maka disini ternyata bagaimana pentingnya kedudukan ijtihad bagi penemuan hukum yang sangat diperlukan guna memisahkan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
Para ulama terdahulu telah berhasil melalui ijtihad menemukan hukum bagi berbagai macam masalah yang berkembang pada zamannya. Tetapi dewasa ini telah lebih banyak lagi masalah yang timbul dan berkembang, sebab itu maka ijtihad perlu diperkembangkan dan diperluas. Para ulama telah berhasil menciptakan beberapa metode untuk berijtihad, antara lain : qiyas, mashalih mursalah, ijma’ dan istihsan.
Qiyas. Ialah mengukur atau mempersamakan. Pengertian Qiyas menurut istilah ialah memperbandingkan atau mempersamakan hukum satu perkara dengan perkara lain berdasarkan ‘illah. Yang dimaksud dengan ‘illah ialah sebab yang mendasari ketetapan hukum. Misalnya arak diharamkan karena memabukkan, riba diharamkan karena menganiaya. Maka qiyas mengatakan bahwa benda lainpun jika ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga.
Diantara metode yang termasuk dalam rangka ijtihad, maka qiyas menempati kedudukan yang terpenting, karena teorinya lebih mendasar den lebih dekat pula kepada dalil-dalil dalam al Quran dan as Sunnah. Sebab qiyas memperbandingkan atau mempersamakan ‘illah suatu perkara/peristiwa yang telah dihukumi oleh al Quran atau as Sunnah dengan ‘illah suatu perkara lain yang belum jelas hukumnya.
Mashalihul Mursalah. Ialah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak juga dianjurkan oelh al Quran maupun as Sunnah, tetapi sangat diperlukan untuk memelihara kelestarian dan keselamatan agama, akal, harta, diri dan keturunan. Maka yang termasuk mashalihul mursalah antara lain adalah mengumpulkan dan mencetak al Quran, mencetak kitab yang berisi kumpulan hadits, mencetak lafal al Quran dan Hadits dengan huruf latin bagi mereka yang belum pandai membaca huruf arab, mengadakan sekolah-sekolah khusus untuk membaca dan melagukan al Quran. Juga menggaji para pegawai yang bertugas menjalankan pekerjaan keagamaan seperti Imam shalat, Muadzin, Khatib, Hakim, Guru Agama, dan sebagainya. Demikian juga menyelenggarakan kegiatan peringatan hari besar Islam (PHBI) yang dilaksanakan dengan ceramah sebagai sarana dakwah Islamiyah.
Ijmak. Ialah di dalam menjalankan ijtihad para ulama menganggap perlu demi memperkuat hasil ijtihad mereka masing-masing untuk mengadakan kesepakatan antara beberapa atau banyak ulama. Sehingga dengan demikian hasil ijtihad tidak hanya diakui oleh seorang ulama atau beberapa ulama saja tetapi oleh banyak ulama. Kesepakatan banyak ulama ini dinamakan ijmak shahabah, atau para ulama sesudah para sahabat hingga para ulama dewasa ini.
Istihsan. Ialah penetapan hukum tidak dengan qiyas, tetapi dengan penyimpangan hukum yang khusus untuk mencapai kemanfaatan. Sebagai contoh adalah menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian masjid atau gedung sekolah. Tetapi karena biaya pembangunan belum terkumpul, maka pembangunan belum dapat dimulai. Sementara menunggu terkumpulnya biaya, tanah wakaf tersebut ditanami padi atau sejenisnya lebih dulu yang hasilnya setiap panennya disediakan untuk pembangunan.
Jelaslah bagi kita bahwa ijtiahd memainkan peranan penting dalam sejaran perkembangan hukum. Dan pada masa-masa yang akan datang ijtihad akan tetap berperan lagi untuk menjawab tantangan-tantangan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan tehnologi. Karena pada setiap masa selalu ada peristiwa-peristiwa baru yang memerlukan pemecahan hukumnya. Ini berarti pintu ijtihad terbuka terus bagi yang mamu melakukannya. Penutupan pintu ijtihad seperti yang tejadi pada masa lalu merupakan salah satu faktor kemunduran umat Islam.

II.    MAZHAB.

Bermazhab adalah orang yang memilih salah satu aliran/faham tertentu diantara aliran-aliran atau faham-faham yang ada dan berpengaruh. Orang yang sesungguhnya bermazhab ialah yang dengan sadar dan dengan ilmu pengetahuan mengikuti aliran/faham yang dipeganginya, bukan karena ikut-ikutan.

Timbulnya mazhab.
    Adanya faktor pengkultusan tokoh yang dikagumi, yang kemudian terbentuklah kelompok-kelompok pendukung yang fanatisme yang melahirkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Semula kultus itu langsung kepada Imam Mujathid. Kemudian berkembang kepada muridnya sang Imam sebagai tokoh keperayaan Imam, kemudian berkembang fanatik dan kultus kepada jama’ah Imam yang pendapatnya sudah berbeda jauh dari Imam Mujtahid yang asli atau yang pertama.
Sekarang ini ada orang yang disebut Syafi’iyah, adalah mereka yang sudah tidak langsung memahami kitab ‘al Um’ (kitab karangan Imam Syafi’i), tidak menghayati apa yang disebut pendapat Imam syafi’I terdahulu (Qual Qadim), dan apa yang disebut pendapat Imam Syafi’I yang kemudian (Qaul Jadid), tetapi mungkin hanya mendengar fatwa kiayi yang ada di desanya, atau hanya membaca kitab Syafi’iyah semacam kitab Taqrib, atau Fathul Mu’in saja.

Fatwa Para Pendiri Mazhab
1.    Imam Abu Hanifah (699 – 767 M)
“Tidak halal bagi seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui dari mana sumber pendapat kami itu.”
2.    Imam Malik (714 – 798 M)
“Aku ini hanya seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar, maka koresilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan al Quran dan as Sunnah (Hadits) ambillah ia, dan segala yang tidak sesuai dengan al Quran dan as Sunnah, tinggalkanlah.”
3.    Imam Syafi’I (767 – 854 M)
“apa yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan nabi, maka apa yang shahih dari nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti, janganlah kamu bertaklid kepadaku.”
4.    Imam Ahmad bin Hanbal (780 – 855 M)   
“Janganlah kamu bertaklid kepadaku. Jangan pula kepada Malik, jangan kepada Syafi’I, dan jangan pula kepada Ats Tsauri. Ambillah dari sumber mana mereka itu mengambil!”

III.    TAKLID

Taklid ialah mengikuti paham orang lain dengan tidak mengetahui atau tidak bermaksud mengetahui alasannya, atau mengetahui alasannya lalu dengan mutlak mengeakui kebenarannya sambil menyatakan atau tidak mengambil perhatian atas pendapat serta alasan pihak lain.
Taklid ini asalnya bukan dari agama Islam melainkan peninggalan dari agama Yahudi yang dikepalai oleh para pendetanya (Rabbaniyyun). Mereka mempunyai kekuasaan mutlak mengenai agama, dan apapun perkataannya wajib dianggap benar dan dita’ati, sebagimana difirmankan Allah swt :
“Mereka menjadikan pendeta dan orang saleh mereka sebagai Tuhan selain Allah.”
    Mempertuhankan pendeta maksudnya menganggap bahwa para pendeta itu wakil Tuhan, wajib dita’ati apapun perintah dan perkataannya. Ada sebagian ummat Islam bahwa para ulama itu wali dan kekasih Allah dan keramat. Ada juga anggapan bawa sembarang fatwa dan hukum yang ditetapkan oleh ulama adalah pasti benar dan wajib dita’ati, baik mengetahui alasannya atau tidak.

Para Imam melarang taklid :

1.    Imam Abu Hanifah : “Terlarang bagi orang-orang yang tidak mengetahui dalilku untuk memberi fatwa dengan perkataanku.”
2.    Imam Malik : “Saya ini manusia biasa, dapat salah dan bisa benar. Karena itu nilailah pendapatku dan setiap sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka terimalah, dan jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah tinggalanlah!”
3.    Imam Syafi’i : “Tiada halal bertaklid kepada seseorang selain kepada Nabi saw.” “Jika kamu sekalian berpendapat bahwa perkataanku menyalahi perkataan Rasulullah maka amalkanlah perkataan Rasulullah dan perkataanku itu lemparkan saja ke luar pagar.”
4.    Imam Ahmad bin Hambal : “Jangalah sekali-kali engkau taklid kepadaku, jangan pula taklid kepada Imam Malik, jangan pula kepada Imam Auza’i dan jangan pula kepada Imam Nakha’i serta jangan pula kepada lain-lainnya. Ambillah hukum langsung dari mana mereka mengambil.” (yaitu Quran dan Sunnah Rasul)

Allah berfirman dlam surat An Nisa (4) : 59

                                
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

QS al Hasyr (59) : 7
         
7 Segala apa diperintahkan Rasul  kepadamu,  maka laksanakanlah. Dan segala apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”

Faktor-Faktor Penyebab Berkembangnya Taklid

1.    Kultus murid para Mujtahidin untuk menokohkan Imam masing-masing
2.    Kodifikasi madzab, sehingga secara paedagogik dan psikologis secara langsung menyingkirkan Quran dan Sunnah dari perhatian ummat.
3.    Dalam bidang politis, materi madzab yang menyangkut hukum perdata dan pidana dijadikan pegangan oleh Hakim untuk menjatuhkan vonis di pengadilan. Sehingga secara paedagogis dan psikologis pula secara tidak langsung memkasa orang banyak untuk mempelajari madzab, karena materi madzab identik dengan pengadilan. Sedangkan pengadilan dapat memberikan vonis positif atau negatif pada rakyat.
4.    Penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya turut aktif menekankan populerisasi madzab.

Kemunduran Islam disebabkan :

1.    Fanatisme madzab
2.    Quran dan Hadits terkesampingkan
3.    Taklid tumbuh merajalela
4.    Perpecahan ummat

Taklid buta merupakan faktor utama yang membawa akibat negatif bagi kehidupan ummat Islam seluruh dunia :

1.    Di bidang ilmu pengetahuan, ummat Islam merosot ke lembah kebodohan dan kejumudan;
2.    Di bidang aqidah dan syari’ah, ummat Islam tenggelam dalam tkhayul bid’ah dan khurafat, faktor utama sebagai belenggu untuk maju;
3.    Di bidang politik, hampir ummat Islam sedunia mejadi jajahan bangsa lain;
4.    Di bidang sosial, hancurnya kepribadian ummat Islam dalam tata hidup kemasyarakatan, khsusunya di bidang solidaritas ukhuwah Islamiyah; dan
5.    Di bidang kebudayaan, ummat Islam hilang tempat berpijak, dan tenggelam sebagai penjiplak, plagiator dari budaya-budaya asing.






Ahlus Sunnah wal Jama’ah :
Yaitu orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasul dan Jama’ah para sahabat, yaitu mengikuti dalam i’tiqadnya, amal ibadahnya, dan perjuangannya untuk menjunjung tinggi agama Islam dan ummatnya.
Organisasi gerakan agama Islam yang mendasarkan (1) segala amal ibadahnya serta jalan pikiran dan falsafah hidupnya atas Kitab Allah dan Sunnah Rasul, (2) termasuk juga sunnah para sahabat yang diriwayatkan dalam hadits-hadits yang shahih, (3) juga berittiba’ kepada perjuangan Rasulullah dalam dakwah Islam dan pembangunan kesejahteraan masyarakat (aktif dalam dakwah dan tablighnya, madrasah dan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, masjid, mushalla, dsb). (4) Maka dengan mengembalikan segala perkara agama kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka organisasi itu termasuk ke dalam Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

BID’AH
Arti bid’ah menurut bahasa : “sesuatu yang diciptakan abru tanpa contoh yang mendahuluinya.” Sebagaiman langit dan bumi ini diciptakan Allah untuk pertama kalinya.
Arti bid’ah menururt syara’ : “suatu cara yang diadakan orang dalam agama yang menyerupai perintah agama, yang dikerjakan dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt.”

Sem 3 - Ibadah - Makalah Madzhab-Madzhab Fiqh Islam dan Metode Fiqhnya: • Hanafi • Hambali • Maliki • Syafi’i

Madzhab-Madzhab Fiqh Islam dan Metode Fiqhnya:
•    Hanafi
•    Hambali
•    Maliki
•    Syafi’i

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ibadah
Dosen Pengampu : H. Nasrudin, SPdI, SE, MSI



Disusun oleh :
   
Nanang Hariyono / 102210107 / V P
Ery Kurnianingrum / 092210030 / VII R
Petrus Perasojo / 082210044 / VII P

PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2012



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As Sunnah dan kepada perkataan sahabat. Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum Islam). Sehingga seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab. Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaanm adzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan faktor adaptasi perkembangan jaman. Madzhab dalam hukum islam pun semakin bermunculan. Sebagai contoh ada madzhab sunni yang terdiri dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan madzhab syi’a terdiri dari madzhab Zaidi dan Jarani yang semua itu perlu untuk kita ketahui sebagai pertimbangan dalam kita melaksanakan keislaman.
Dalam makalah ini kami bermaksud menuliskan 4 macam madzhab tersebut, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali serta metode fiqhnya.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud Madzhab?
2.    Apa Madzhad Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i itu? Metode Fiqhnya bagaimana?



C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Ibadah.
2.    Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam madzhab.
3.    Untuk mengetahui metode dalam menetapkan hukum.
4.    Sebagai bahan bacaan dan referensi tambahan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.


BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian
Kata madzhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq).
Secara terminologis pengertian madzhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengistinbatkan hukum Islam.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang.
Sehingga dapat disimpulkan pengertian madzhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.
Ada empat madzhab yang masih bertahan sampai sekarang yakni:
a.    Bermula dengan Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanaffi). Pada zaman Bani Umaiyah heboh dalam berdebat dan menentang paham Muktazilah.
b.    Kemudian Imam Malik bin Anas (Mazhab Maliki). Mengarang kitab Muwatta', kitab yang mengandung hadist-hadist dan hukum.
c.    Diikuti dengan Imam Muhammad bin Idris As Syafie (Madzhab Syafi’i). Mengarang kitab Ar Risalah dalam bidang Usul Fiqh Kitab Al Um dalam bidang Fiqah Pada zaman Bani Abbasiyah semasa pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid
d.    Terakhir Imam Ahmad bin Hambal (Madzhab Hambali). Menentang golongan Muktazilah, seorang al Hakim dalam gelaran ahli hadis kerana menghafal lebih 700 000 hadis. Mempunyai anak murid yang hebat seperti Imam Bukhari.

2.    Penyebab Munculnya Madzhab
a.    Telah meninggalnya Rasulullah SAW dan banyak perbedaan argumentasi mengenai penyelesaian masalah-masalah baru.
b.    Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di Semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dan lain-lain.
c.    Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
d.    Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi (hakim) dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap permasalahan dan masalah-masalah baru yang dihadapi.

3.    Tujuan Madzhab
Tujuan madzhab-madzhab Islam ialah memudahkan umat Islam mencapai ketaatan kepada Allah melalui Al-Qur’an dan As Sunnah. Setiap ajaran madzhab adalah berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu, mengikuti madzhab berarti mengikuti Al-Qur’an dan As Sunnah.

4.    Macam-macam Madzhab
a.    Sunni/Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Adalah kumpulan dari orang-orang yang menganut sunnah Nabi Muhammad SAW seperti yang sudah dilakukan oleh kelompok para sahabat di masa lalu.
o    Ahl Al-Ra’yu
Yang sifatnya membatasi diri dengan sekedar yang ada di dalam nash. Kelompok ini dikenal pula dengan Madzhab Hanafi.
o    Ahl Al-Hadist
Yang sifatnya menyelami keadaan masyarakat dan meneliti illat-illat hukum. Madzhab-madzhab terdiri atas:
•    Madzhab Maliki
•    Madzhab Syafi’i
•    Mazhab Hambali
b.    Syi’ah
Syi’ah berarti pembela. Yakni pembela keluarga atau Ahli Bait Nabi Muhammad.
Ini mengacu pada sekelompok orang yang menjadikan dirinya selaku pembela para keluarga Nabi Muhammad dari dinasti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atas kezaliman dinasti Muawiyah.
Madzhab-madzhab terdiri atas:
o    Syi’ah Ja’fari
o    Syi’ah Zaidiyah
o    Syi’ah Imamiyah
c.    Khawarij
Yakni kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan Ali karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima perdamaian dalam perang shiffin pada tahun 37 H/648M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sofyan.
d.    Kelompok ini dikenal pula dengan Madzhab Khawarij
e.    Madzhab-madzhab yang telah musnah
o    Madzhab Al-Auza’i
o    Madzhab Al-Zhahiry
o    Madzhab Al-Thabary
o    Madzhab Al-Laitsi

5.    Madzhab-Madzhab Fiqh Islam dan Metode Fiqhnya:
a.    Madzhab Hanafi
Pendiri madzhab Hanafi ialah: Nu'man bin Tsabit bin Zautha. Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi'i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An Nu'man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Tabi'in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi' Maula Ibnu Umar.
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak (Ahlu Ra'yi). Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra'yi masa Tsabi'it Tabi'in.

Corak Pemikiran Hukum :
Rasional

Metode Fiqh Madzhab Hanafi
Adapun metodenya dalam Fiqh sebagaimana perkataan beliau sendiri: “Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika tidak saya temukan saya mengambil dari Sunnah dan Atsar dari Rasulullah saw yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak saya temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, saya cari perkataan Sahabat, saya ambil yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudian saya tidak akan mencari yang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung pada Ibrahim, Sya’bi, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Musayyib (karena beliau menganggap mereka adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.
Metode yang dipakainya itu jika kita rincikan maka ada 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah:
1.    Al-Qur’an, Abu Hanifah memandang Al-Qur’an sebagai sumber pertama pengambilan hukum sebagaimana imam-imam lainnya. Hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka dalam menjelaskan maksud (dilalah) Al-Qur’an tersebut, seperti dalam masalah mafhum mukhalafah.
2.    Sunnah/Hadits, Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an sebagaimana imam-mam yang lain. Yang berbeda adalah beliau menetapkan syarat-syarat khusus dalam penrimaan sebuah hadits (mungkin bisa dilihat di Ushul Fiqh), yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah hadits dari sisi Sanad (perawi), tapi juga meneliti dari sisi Matan (isi) hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits lain dan kaidah-kaidah umum yang telah baku dan disepakati.
3.    Perkataan Shahabah, metode beliau adalah jika terdapat banyak perkataan Shahabah, maka beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari perkataan Shahabah yang ada itu, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan Tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
4.    Qiyas, adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
Beliau menggunakannya jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum.
5.    Istihsan, adalah mengikuti yang lebih baik karena lebih tepat atau menganggap baik terhadap sesuatu.
Dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah adalah orang yang paling sering menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum.
6.    Ijma’, adalah kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Imam Abu Hanifah mengambil Ijma’ secara mutlak tanpa memilah-milih, namun setelah meneliti kebenaran terjadinya Ijma’ tersebut.
7.    Urf
Adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu  masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
Dalam masalah ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang yang banyak memakai ‘urf dalam masalah-masalah furu’ (pemahaman) Fiqh, terutama dalam masalah sumpah (yamin), lafaz talak, pembebasan budak, akad dan syarat.

Kitab-Kitab Imam Hanafi
1.    Kitab "Al-Faraid" (Harta Pusaka)

Daerah-Daerah Penganut Madzhab Hanafi
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazdhab Hanafi merupakan madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.
Dan madzhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.


b.    Madzhab Maliki
Madzhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.
Nama lengkap dari pendiri madzhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi' Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri.
Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi'ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.

Corak Pemikiran Hukum :
Dipengaruhi sunah yang cenderung tekstual

Metode Fiqh Madzhab Maliki
Metode fiqhnya diambil berdasarkan:
1.    Nashul Kitab (ayat  Al Qur’an yang jelas artinya, yang tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang lain)
2.    Dzaahirul Kitab (umum, ayat  Al Qur’an yang jelas artinya, yang tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang lain)
3.    Dalilul Kitab (mafhum mukholafah dari suatu ayat Al Qur’an)
4.    Mafhum muwafaqah dari suatu ayat Al Qur’an
5.    Tanbihul Kitab, terhadap illat (sesuatu yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, dengan kata lain ‘illat merupakan pemicu/dasar/latar belakang disyari’atkannya hukum)
6.    Nash-nash Sunnah (matan hadist yang jelas artinya yang tidak dapat dipalingkan artinya kepada arti yang lain)
7.    Dzahirus Sunnah (matan hadits yang dapat ditakwilkan artinya, pemalingan suatu lafadz dari maknanya yang dzahir kepada maknanya yang lain karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa makna itulaah yang dikehendaki oleh lafadz tersebut.)
8.    Dalilus Sunnah (mafhum mukholafah dari suatu matan hadits, pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan))
9.    Mafhum Sunnah (mafhum muwafaqoh dari suatu matan hadits, Penunjukkan lafadz atas  berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (manthuq) bagi masalah yang tidak disebutkan (maskut) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau tidak pasti (itsbat) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui dengan hanya memahami bahasa)
10.    Tanbihus Sunnah
11.    Ijma’
12.    Qiyas, selama beliau tidak menemukan hadist (meskipun mursal) atau tidak menemukan fatwa sahabat Nabi SAW
13.    Amalu Ahlil Madinah, praktek hukum dari suatu masalah yang dilakukan oleh ulama’ madinah
14.    Qaul Shahabi, pendapat atau fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan sunnah
15.    Istihsan
16.    Muraa’atul Khilaaf
17.    Saddud Dzaraa’i
Al-Quran, As-Sunnah (dengan lima rincian dari masing-masing Al-Quran dan As Sunnah; tekstualitas, pemahaman zhahir, lafaz umum, mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah), Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah (perbuatan penduduk Madinah), perkataan sahabat, istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar'u man qablana (syariat nabi terdahulu).Mazhab ini adalah ke balikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru 'kebanjiran' sumber-sumber syariah. Sebab madzhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di manapenduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.


Kitab-Kitab Imam Maliki
Karya-karya dari Imam Maliki di antaranya:
1.    Kitab Muwaththa, kitab yang termasyhur merupakan kitab yang mengandung hadist-hadist dan hukum.
2.    Kitab Mudawanah Al-Qubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Daerah-Daerah Yang Menganut Madzhab Maliki
Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

c.    Madzhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.
Guru Imam Syafi'i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi'i sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi'ir; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Madzhab Syafi'i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi'i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah: Al-Um.

Corak Pemikiran Hukum :
Antara tradisional dan rasional

Metode Fiqh Madzhab Syafi’i
Metode fiqhnya diambil berdasarkan:
1.    Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
2.    As Sunnah, beliau tidak hanya mengambil hadits mutawatir saja (sunnah yang diriwayatkan dari rasulullah oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan, masing-masing tidak mungkin sepakat untuk berbohong, karena jumlah mereka yang bayak, kejujuran dan perbedaan pandangan serta lingkunggan mereka) tetapi hadits-hadits ahad juga beliau pakai untuk dalil. Dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
3.    Al-Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
4.    Al-Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
5.    Istidlal, mencari alasan berdasarkan atas kaidah-kaidah agama meskipun dari agama ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).

Kitab-Kitab Imam Syafi’i
Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang ditulisnya sendiri ataupun didiktekan kepada muridnya maupun yang dinisbahkan kepadanya antara lain sebagai berikut:
1.    Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh.
2.    Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
3.    Kitab al-Musnad, berisi hadist-hadist yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
4.    Al-Imla’
5.    Al-Amaliy.
6.    Harmalah (dinisbahkan pada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
7.    Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
8.    Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
9.    Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadist-hadist Nabi SAW).

Daerah-Daerah Yang Menganut Madzhab Syafi'i
Madzhab Syafi'i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di: Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.

d.    Madzhab Hambali
Pendiri Madzhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Syria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.

Corak Pemikiran Hukum :
Tradisional (fundamental)

Metode Fiqh Madzhab Hanafi
Metode fiqhnya diambil berdasarkan:
1.    Al-Qur’an atau As Sunnah
Yaitu apabila beliau menemukan nash baik dari Al-Qur’an maupun hadist beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak pula memperhatikan pendapat-pendapat para sahabat.
2.    Fatwa sebagian sahabat, yaitu jika beliau tidak mendapatkan nash maka beliau berpegang teguh pada fatwa sahaby jika fatwa tersebut tidak ada yang menantangnya.
3.    Pendapat sebagian sahabat, beliau memandang pendapat sebagian sahabat sebagai dalil hukum. Jika terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah maka beliau mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Kitab dan Sunnah.
4.    Hadist mursal atau hadist dhoif, yakni Hadits yang dimarfu’kan (diangkat) oleh seorang tabi’in kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda, perbuatan dan taqrir, baik itu tabi’in kecil ataupun besar. Hal ini dipakai jika hadis tersebut tidak berlawanan dengan suatu atsar atau pendapat seorang sahabat.
5.    Qiyas, jika beliau tidak memperoleh sesuatu dasar diantara yang tersebut di atas maka dipergunakanlah qiyas.

Kitab-Kitab Imam Hambali
Kitab-kitab Imam Hambali selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik, ia juga`seorang pengarang. Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya. Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut:
1.    Kitab Al-Musnad.
2.    Kitab Tafsir al-Qur’an.
3.    Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
4.    Kitab al-Muqqodam wa al-Muakhkar fi al-Qur’an.
5.    Kitab Jawabul al-Qur’an
6.    Kitab al-Tarikh
7.    Kitab Manasiku al-Kabir
8.    Kitab Manasiku al-Shagir
9.    Kitab Tha’atu al-Rasul
10.    Kitab al-‘illah
11.    Kitab al-Shalah

Daerah Yang Menganut Madzhab Hambali
Awal perkembangannya, madzhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Kemudian Libia, Mesir, Indonesia, Saudi, Arabia, Palestina, Syria, Irak, Jazirah Arab.
Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su'udi. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Syria dan Irak.


1.    Perbandingan Madzhab
Hukum Membaca Al-Fatihah Dalam Sholat Jama’ah Menurut Madzab Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i
Untuk lebih memperjelas bagaimana perbedaan pendapat serta argumen dan dalil-dalil yang menjadi pegangan Imam Madzhab dirinci sebagai berikut:
a.    Madzhab Hanafi
Menurut pendapat madzhab ini membaca di belakang imam baik Al-Fatihah atau surat yang lain hukumnya makruh yang mendekati haram, baik di sholat jahr atau siri. dasar mereka adalah sabda Rosulullah SAW.
مَنْ كَانَ لَهُ اِمَامُ فَقِرَاءَة ُاْلإِ مَامَ لَهُ قِرَاءَةٌ
Artinya : “barang siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.” (HR Ibnu Majjah dan yang lainnya - Hadist Dho’if [lemah])
Dari keterangan pendapat Madzhab Imam Hanfi mengatakan bahwa siapa yang mempunyai imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya. Secara tidak langsung makmum tidak boleh membaca apapun di belakang imam.
b.    Madzhab Maliki
Menurut pendapat Madzhab Imam Maliki membaca di belakang imam bagi makmum adalah sunnah hukumnya pada sholat siri. dan pada sholat jahr maka makruh hukumnya.
Jadi menurut pendapat madzhab ini membaca Al-Fatihah di belakang imam dalam sholat jhar hukumnya makruh dan sunah pada sholat siri.

c.    Madzhab Syafi’i
Menurut Mazhad Syafi’i membaca Al-Fatihah adalah wajib hukumnya bagi setiap makmum di belakang imam kecuali pada sholat jahr, maka diam mendengarkan bacaan imam lebih wajib. Dasar meraka adalah hadist berikut :
 (رواه البخارى وسلم) لاَ صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَاُ بِفَا تِحَةٍ الْكِتَبِ
Artinya : Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Al-Fatihah ( H.R. Bukhori & Muslim)
Dari keterangan pendapat Madzhab Imam Syafi’i membaca Surat Al-Fatihah di belakang imam yang sholat siri (bacaannya pelan) maka wajib hukumnya membaca fatehah tetapi jika sholat jahr maka lebih wajib mendengarkan bacaan imam.
d.    Madzhab Hambali
Sebagaimana pendapat Madzhab Maliki, yaitu sunnah hukumnya membaca Al-Fatihah di belakang imam pada sholat siri/pelan dan dalam diamnya imam. Dan makruh hukumnya pada sholat jahr/keras.

Dari semua pendapat Madzhab di atas kita dapat menilai dan mengetahui pendapat mana yang lebih kuat dan mendapat mana yang akan kita aplikasikan dalam ibadah sholat kita, semua itu kembali pada masing-masing individu.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa madzhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) dalam memecahkan masalah atau mengistinbatkan/menetapkan hukum Islam.
Ada banyak madzhab yang dibuat tetapi yang masih bertahan sampai sekarang ini yakni:
1.    Madzhab Hanafi
2.    Madzhab Maliki
3.    Madzhab Syafi’i
4.    Madzhab Hambali
Metode fiqhnya pun berbeda satu sama lain berdasarkan dilihat dari perbandingan madzhab dalam penetapan hukum membaca Al-Fatihah dalam sholat jama’ah.

B.    Saran
Perbedaan adalah hal yang lumrah terjadi mengingat begitu banyaknya dalil-dalil dan hadist-hadist. Serta begitu banyaknya kaum intelektual Islam (Mujtahid). Akan tetapi dalam menyikapi perbedaan ini kita sebagai kaum akademisi harus mampu menengahi masyarakat dalam perbedaan pendapat ini. Jangan sampai perbedaaan masalah kecil menjadi penyebab perpecahan umat.


DAFTAR PUSTAKA

Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Ismail, Ahmad satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003.
Nasution, Harun,  Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 2002.
Rahmat, Jalaluddin, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh,  Artikel yayasan Paramadina, www. Media.Isnet.org/islam/paramadina/konteks/sejarahfiqh01.html.
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqh Islam, Surabaya : Risalah Gusti, Cet I, 1995.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III, 2003.
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab
http://blog.re.or.id/mazhab-dalam-islam.htm
http://www.saidialhady.com/2010/03/4-mazhab-dalam-islam.html
http://diaz2000.multiply.com/journal/item/20?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
http://news.detik.com/read/2012/08/03/192200/1982877/1254/mengapa-ada-mazhab-dalam-islam
http://islamquest.net/ms/archive/question/fa2381
http://hafizfirdaus.com/ebook/PedomanMazhab/Chap8.php
http://www.scribd.com/doc/16951468/PERBANDINGAN-MAZHAB
http://www.scribd.com/doc/28546510/Makalah-Sejarah-Pemikiran-Islam-Sejarah-Empat-Mazhab-Fiqih
http://czifa24.blogspot.com/2012/10/makalah-fiqh.html
Ash Ahiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1999. Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Hasan, M. Ali. 2000. Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Khalil, Munawar. 1983. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah.
Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
http://www.scribd.com/doc/53672332/makalah-mazhab-imam-hanafi
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab
http://ragab304.wordpress.com/2009/02/13/mazhab-hanafi/
http://azimsmile46.wordpress.com/2011/05/23/mazhab-imam-syafii-dan-imam-hambali/
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi%27i
http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/06/metode-istidlan-dan-pola-pemikiran-imam.html
http://www.fiqhsunnah.com/fiqh/perbedaan-antar-madzhab.html
http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=1&dfi=1&dfq=1&u2=&ui=1&nba=90
http://imanakhir.webs.com/kisahimam4mazhab.htm
http://menwih-hukum.blogspot.com/2009/10/mazhab-maliki.html
http://www.fiqhsunnah.com/fiqh/perbedaan-antar-madzhab.html